Isnin, 21 April 2014

Menghadiri Jenazah Bukan Muslim

Allah berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13)

Para ulama menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri jenazah non muslim.

Jumaat, 18 April 2014

Mengingkari Bid’ah

Ketegasan Para Ulama Dalam Mengingkari Bid’ah

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “tidaklah datang kepada manusia suatu tahun kecuali mereka mengada-adakan bid’ah padanya dan mematikan sunnah. Sehingga merajalela lah bid’ah dan matilah sunnah-sunnah” (lihat al-I’tisham, 1/39).
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “barangsiapa yang mencintai pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya” (lihat Min A’lam as-Salaf, 2/47)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “barangsiapa yang mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk menghancurkan agama Islam.” (lihat Min A’lam as-Salaf, 2/47)
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46).
Imam Abul Qasim At-Taimi rahimahullah berkata, “syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49)
Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata, “barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian”. Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu juga bukan termasuk agama” (lihat al-I’tisham, 1/64-65)
Abu Idris al-Khaulani rahimahullah berkata, “sungguh apabila aku melihat api di dalam masjid yang tidak sanggup aku padamkan itu lebih aku sukai daripada melihat di dalamnya bid’ah yang aku tidak sanggup mengubahnya” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25).
Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, “tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguh-sungguhan kecuali dia akan semakin bertambah jauh dari Allah.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 33).
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “semua orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru lalu dia sandarkan kepada agama padahal tidak ada dasar rujukannya di dalam agama maka itu adalah kesesatan, dan agama berlepas diri darinya. Sama saja apakah hal itu terjadi dalam masalah keyakinan/akidah ataupun amalan, atau dalam hal ucapan lahir maupun batin.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 26).
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “semua bid’ah itu sesat walaupun oang-orang menganggapnya sebagai kebaikan/hasanah” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27).
Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun melarangnya. Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27).
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 5 April 2014

Makna Ikhlas

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:
Ikhlas maknanya seseorang meniatkan amal ibadahnya untuk ber-taqarrubkepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menggapai surga-Nya.
Jika seseorang memaksudkan ibadahnya untuk selain Allah, terdapat rincian yaitu sebagai berikut:
Pertama, dengan ibadah itu ia ingin ber-taqarrub kepada selain Allah dan ingin mencari pujian dari makhluk. Ini membuat amal sia-sia dan juga termasuk kesyirikan. Dalam Shahih Muslim, hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملاً أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku tidak butuh terhadap orang-orang musyrik atas kesyirikan yang mereka lakukan. Barangsiapa yang menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain, akan Ku tinggalakan ia bersama kesyirikannya‘” (HR. Muslim2985)
Kedua, tujuan ia melakukan ibadah itu adalah ingin mendapatkan sesuatu yang sifatnya duniawi, semisal ingin dihormati, ingin kedudukan, atau menginginkan harta, bukan untuk ber-taqarrub. Maka amal ibadah ini sia-sia dan sama sekali tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Hud: 15-16)
Bedanya yang pertama dengan yang kedua, yang pertama ia ingin dipuji orang lain bahwa ia adalah seorang ahli ibadah, adapun yang kedua ia sama sekali tidak bermaksud ingin dipuji orang sebagai ahli ibadah.
Ketiga, tujuan dari ibadahnya adalah untuk ber-taqarrub kepada Allah Ta’alasekaligus tujuan duniawi. Misalnya, seseorang ber-thaharah dalam rangka ibadah kepada Allah sekaligus ingin membersihkan anggota badan, atau seseorang shalat untuk ibadah sekaligus untuk olah raga, atau orang puasa untuk ibadah sekaligus untuk menurunkan berat badan, juga orang berhaji untuk ibadah sekaligus ingin melihat tempat-tempat menarik di yang dilewati jama’ah haji. Yang demikian ini mengurangi keikhlasan. Namun jika niat yang lebih dominan adalah untuk ibadah, pahala ibadahnya tidak sempurna, tapi tidak membuatnya batal dengan adanya pelanggaran dan kelalaian ini. Sebagaimana firman AllahTa’ala tentang orang-orang yang berhaji:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” (QS. Al Baqarah: 198)
Jika niat yang lebih dominan adalah untuk selain ibadah, maka tidak ada pahala baginya, yang ia dapatkan hanya balasan yang sifatnya duniawi saja. Bahkan dikhawatirkan ia akan mendapatkan dosa. Karena ia telah menjadikan ibadah, yang seharusnya jadi tujuan utama, sebagai sekedar perantara untuk mendapatkan hal duniawi yang hina. Ia termasuk dalam firman Allah Ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” (QS. At Taubah: 58)
Juga dalam Sunan Abu Daud, hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
أن رجلاً قال: يا رسول الله رجل يريد الجهاد وهو يريد عرضاً من عرض الدنيا. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لا أجر له. فأعاد ثلاثاً والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: لا أجر له
Ada seorang lelaki bertanya, wahai Rasulullah ada orang yang pergi berjihad dengan tujuan untuk mendapatkan hal duniawi, bagaimana itu? Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Tidak ada pahala baginya’ (beliau mengulang perkataan ini sampai 3x)” (HR. Abu Daud 2516)
Juga dalam Shahihain, hadits dari Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من كانت هجرته لدنيا يصيبها، أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Barangsiapa yang hijrahnya karena tujuan dunia, atau untuk menikahi seorang wanita, maka balasan hijrahnya itu sekedar apa yang ia tuju itu” (HR. Bukhari-Muslim)
Jika niat ibadah dengan niat non-ibadah sama besarnya, ini perlu ditelaah. Namun yang benar menurutku, tidak ada pahala baginya sebagaimana orang yang meniatkan ibadahnya sekaligus untuk tujuan yang lain.
Perbedaan jenis ketiga ini dengan dua jenis sebelumnya adalah pada dua jenis sebelum ini, tujuan-tujuan non-ibadah yang dituju bisa dilihat hasilnya. Hasil akhir dari yang ia inginkan dari amal ibadahnya itu bisa dilihat hasilnya secara nyata. Seakan-akan ia memang menginginkan hal-hal duniawi yang menjadi konsekuensi dari amal ibadah yang dia lakukan.
Jika ada orang yang bertanya, apa patokan untuk mengukur niat yang dominan antara niat ibadah dengan niat selain ibadah? Jawabnya, ukurannya adalah jika ia tidak peduli terjadi atau tidaknya hal-hal yang selain ibadah, menunjukkan bahwa niat yang dominan adalah untuk ibadah, demikian pula sebaliknya. Bagaimana pun itu, niat adalah perkataan hati yang sangat serius sekaligus bahaya perkaranya. Terkadang niat mengangkat orang ke derajat orang-orang shiddiqin, terkadang ia melemparnya ke derajat orang-orang safilin yang rendahan. Sebagaimana perkataan sebagian salaf:
ما جاهدت نفسي على شيء مجاهدتها على الإخلاص
Tidak ada perjuangan batin yang paling sulit ku rasakan selain perjuangan untuk bisa ikhlas
Maka kita memohon pertolongan Allah untuk saya dan anda sekalian, agar dapat mengikhlaskan niat serta agar dapat beramal ibadah dengan jalan yang benar.
Sumber: Fatawa Arkanul Islam no. 21 /  Kang Aswad.