Ahad, 23 November 2014

161 / 6

Katakanlah (wahai Muhammad): "Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk hidayah oleh Tuhanku ke jalan yang betul lurus, (kepada) agama yang tetap teguh, iaitu agama Nabi Ibrahim yang ikhlas, dan tiadalah ia dari orang-orang musyrik".
(Al-An'aam 6:161) |

Khamis, 30 Oktober 2014

ANALISA SUNNI - SYIAH


ANALISA SUNNI - SYIAH
Assallamu'alaykum warahmatullahiwabarakatuh,
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status madzhab, pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adalah mutlak milik madzhab dan golongan masing-masing, diluarnya salah dan sesat.
Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa kepada pertarungan panjang yang melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita, mencemari kesucian roh dan mencampakkan Nafs ?
Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa yang akan datang ?
Semoga Allah mengampuni kita yang tidak mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu, kenapa kita menyianyiakan satu ajaran yang konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dengan mencintai para keluarga Nabi, membela kebenaran yang ada didiri Fatimah, Ali, Hasan dan Husin maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya akan dengan bangga menyatakan diri saya Syiah, sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli Sunnah, maka sayapun menyebut diri saya demikian.
Tidak ada yang salah dengan kedua istilah tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya, tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama, sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh, semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya kecenderungan untuk menghakimi pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh Allah melalui nabi-Nya.
"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah,
menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya."
- Riwayat Bukhari -
Maraknya ajaran-ajaran sesat yang terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin, terlebih lagi mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam sebagai topeng yang menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu bersikap objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah dilakukan oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang diajarkan itu saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash kitab suci serta objektifitas berpikir.
Islam adalah satu, semuanya bersumber dari ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang kemudian diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.
Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :
"Dari Miqdad bin 'Amr ; ia pernah bertanya kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru "Aslamtu lillah" - aku Islam kepada Allah - namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi ?
- Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya, yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi, bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang."
"Islam adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan dan pewarisan serta terbina kesatuan kaum Muslimin." - Riwayat Sama'ah
"Nabi bersabda : bahwa Jibril datang kepada beliau dan mengabarkan tentang keutamaan seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid secara murni maka ia akan masuk syurga kendati ybs pernah berzina dan mencuri." - Riwayat Bukhari dari Abu Dzar
Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.
Sejak kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan keluarga ayahnya dari suku Bani Hasyim yang merupakan salah satu keluarga terpandang dikalangan penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib wafat, hak pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai perdagangan dan kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang yang terpercaya) sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan menjualkan dagangan sejumlah saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu dengan Khadijjah yang kelak dinikahinya.
Dimasa awal turunnya wahyu, selain istrinya, orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah Ali putra pamannya, Abu Thalib yang dengan beraninya mengumumkan keislamannya secara terbuka kepada keluarganya.
Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, hal 89, Muhammad Husain Haekal menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan menjadikanku tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya aku harus berunding dengannya untuk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang lain : “Rasulullah, aku akan membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu”.
Meskipun demikian, Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak belakang dengan sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi, Ali dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada pihak Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat lainnya, karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah (yaitu wajah yang disucikan Allah dari penyembahan berhala).
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat, Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:"Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan". – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak, paman sesusuannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga tidak ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah keputusannya, terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dengan sikap beberapa sahabat yang kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yang melatar belakanginya.
Dimalam hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan mantel hijaunya dari Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah disusun oleh para kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman Nabi.
Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan untuk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.
Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah, Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya (padahal keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu Bakar yang disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan ‘Itban bin Malik al-Khazraji, bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan Zaid, mantan budaknya.
Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun (bukankah dalam al-Qur’an surah al-A’raaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun menjadi pengganti Musa tatkala beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat wahyu ? )
Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dengan aku serupa dengan kedudukan Harun dengan Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku” – Hadis Riwayat Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran untuk menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dengan Ali, Nabi juga menolaknya dan bersabda :
“Aku tidak mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena sesungguhnya, puteriku darah dagingku, menyusahkanku apa yang menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang menyakitkannya” – Riwayat Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya. (Riwayat Muslim dan Bukhari)
Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dengan para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para istri beliau (ini ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang mendahulukan penyebutan anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah riwayat dari Imam Muslim bahwa saat itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husin sebagai keluarganya).
Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama ghadir khum, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak, ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin Arkam menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim
Menjelang akhir hayatnya, Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah, sementara Ali sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat, dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas karena sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yang masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dengan kehendak Tuhan yang sudah mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan menyusulnya.
Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam, sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang berseberangan dengannya.
Manakala keadaan Madinah semakin memanas, dan beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu Bakar, sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat dan terciptanya kedamaian.
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). - Qs. al-Ahzaab 33:6
Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3 akibat ulah para keluarganya yang tamak dan haus kekuasaan.
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi, walaupun berakhir dengan baik dan terhormat, tidak urung pertempuran Jamal yang dipimpin langsung oleh 'Aisyah istri Nabi merupakan awal yang bagus untuk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.
Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum'at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.
Setelah kematian Ali bin Abu Thalib, Hasan puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat permusuhan dengan Ali dan keturunannya, orang dipaksa untuk mencaci maki keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar Jum'at.
Kenyataan ini jelas semakin memperdalam kehancuran persatuan umat Islam, suatu ironi yang tidak dapat dihindarkan, betapa dengan susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yang madani dengan mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur dihadapan cucu beliau sendiri.
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan untuk berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya demi untuk menghindarkan jurang yang lebih dalam lagi dikalangan umat Islam dengan beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adalah pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, menjaga persatuan umat, menyejahterakannya, melindungi kepentingannya, tidak membalas dendam kepada anak-anak yang orang tuanya gugur didalam berperang dengan Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar "Amirul Mukminin" sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Akan tetapi selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah, dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut, orang-orang yang dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh, perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan, caci maki terhadap keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lebih parah lagi mereka memaksa orang untuk memutuskan hubungan dengan ahli Bait Nabi.
Tidak hanya sebatas itu, beberapa hukum agama yang diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah, misalnya Sholat hari raya mempergunakan azan, khotbah lebih didahulukan daripada sholat, laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yang sebenarnya tidak pernah ada.
Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan bin Ali bin Abu Thalib, mereka sepakat untuk kembali menyatakan cucu Nabi Saw ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.
Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi, Adi bin Hatim, Musayyab bin Nujbah, Malik bin Dhamrah, Basyir al-Hamdan dan Sulaiman bin Sharat.
Akan tetapi selang tak lama, putera pertama dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat karena diracun, lama masa pemerintahan Khalifah Hasan ini 6 bulan lebih 1 hari.
Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang melakukan pembantaian besar-besaran atas diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari Asyura.
Kepala Husain yang mulia telah dipenggal, wanita dan anak-anak di-injak-injak, wanita hamil serta orang tua pun tidak luput dari pembunuhan kejam itu.
Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah merah, semerah matahari senja yang meninggalkan cahaya ke-emasannya untuk berganti pada kegelapan.
Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain, menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya, begitu pula memberi aib kepada wanita-wanitanya, ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yang suci serta membunuh ribuan penduduknya, tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yang masih hidup.
Marilah sekarang kita berpikir secara objektif, apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yang mengaku mencintai Nabinya dan senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam setiap sholat ?
Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang yang mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha untuk membela orang-orang yang justru telah secara nyata melakukan pembasmian terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?
Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah, Marwan, Abdul Malik dan Walid, barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz keadaan berubah.
Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya, namun beliau bukan orang yang zalim, seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya, sebaliknya beliau membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.
Sebagai tambahan catatan, dendam lama antara Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Saw masih hidup, yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan (orang tua dari Muawiyah) melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yang membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan perang.
Namun pembalasan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari Fath Mekkah ?
Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat yang aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan terjamin keselamatan orang-orang yang berada disana.
Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani Hasyim dari keturunan Nabi.
Jika keagungan tujuan, kesempitan sarana dan hasil yang menakjubkan, adalah tiga kriteria kejeniusan manusia, siapa yang berani membandingkan manusia yang memiliki kebesaran didalam sejarah modern dengan Muhammad ?
Orang-orang paling terkenal menciptakan tentara, hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja, tidak lebih dari kekuatan material yang acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.
Nabi Muhammad Saw, Rasul Allah yang agung, penutup semua Nabi, tidak hanya menggerakkan bala tentara, rakyat dan dinasti, mengubah perundang-undangan, kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang bahkan lebih dari itu, dia memindahkan altar-altar, agama-agama, ide-ide, keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.
Berdasarkan sebuah kitab, yang setiap ayatnya menjadi hukum, dia menciptakan kebangsaan beragama yang membaurkan bangsa-bangsa dari setiap jenis bahasa dan setiap ras.
Dalam diri Muhammad, dunia telah menyaksikan fenomena yang paling jarang diatas bumi ini, seorang yang miskin, berjuang tanpa fasilitas, tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.
Dia bukan seorang yang jahat, dia keturunan baik-baik, keluarganya merupakan keluarga yang terhormat dalam pandangan penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan lebih memilih untuk berjuang, mengalami sakit dan derita, panasnya matahari dan dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya untuk menghambakan dirinya demi Tuhannya. Dia lebih baik dari apa yang semestinya terjadi pada seseorang seperti dia.
Mari kita semua berpikir objektif dan mengedepankan kejujuran ... sekali lagi, jika dengan mencintai keluarga Nabi maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya adalah Syi'ah ... tetapi apakah Syi'ah dalam arti aliran keagamaan ? - Tidak - Islam yang saya yakini bukan Islam yang disekat oleh aliran dan madzhab.
Wassalam,

Rabu, 29 Oktober 2014

taubat dengan istighfar

Beda taubat dengan istighfar

As Syaikh Bin Baz rahimahullah:
”Taubat adalah rasa penyesalan dari sesuatu yang telah berlalu (dari dosa) dan meninggalkannya serta bertekad untuk tidak  kembali melakukannya, inilah yang disebut dengan Taubat..
Adapun Istighfar maka terkadang berbentuk Taubat dan Terkadang hanya sebatas ucapan saja..
Seperti ucapan:
“Ya Allah ampunilah aku..” “Aku memohon ampun kepada Allah..” Maka tidaklah disebut dengan Taubat kecuali jika diiringi dengan rasa penyesalan dan meninggalkan perbuatan Maksiat tersebut serta tekad untuk tidak kembali melakukannya. Maka inilah yang disebut dengan Istighfar, dan disebut juga dengan Taubat…
Dan inilah yang dimaksud dalam firman Allah jalla wa ‘ala:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُون
َ“Dan merekalah orang-orang yang jika melakukan perbuatan keji atau menzholimi diri-diri mereka sendiri dengan segera mereka ingat kepada Allah lalu mereka memohon ampunan terhadap perbuatan dosa mereka, dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah ?  Kemudian mereka tidak terus menerus/ menetapi apa yang mereka perbuat dalam keadaan mereka sadar mengetahui”
(Ali.Imron:135)
Maksudnya:
🔸Bahwa dia menyesal dan tidak terus menerus melakukannya, dia mengucapkan:
“Ya Allah ampunilah aku…” “Aku memohon ampunan kepada Allah.” Bersamaan dengan itu dia menyesal atas perbuatan maksiatnya. Hanya Allah lah yang mengetahui keadaan hatinya, dia benar-benar tidak terus menerus melakukannya bahkan dia bertekad untuk meninggalkannya.
Maka jika dia mengucapkan: … “Astaghfirullah.. “Allahummaghfirly.. Dia meniatkan taubat, menyesal, dan meninggalkannya serta waspada dan berhati-hati untuk tidak kembali melakukannya, maka Taubatnya adalah taubat yang benar.”
Sumber:
http://www.binbaz.org.sa/mat/10479
Sumber : WA Forum Ikhwah Salafiyyin
منتدى الإخوان السلفيين

Selasa, 19 Ogos 2014

Nasyid Islami

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al-Minbariyyah (3/184-185):
“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah, yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian. Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim serta ceramah-ceramah agama.
 Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah k, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok bid’ah Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang membuat orang bergoyang sebagai agama mereka.
 Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah  akibat buruk yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.”
(As`ilah ‘an Al-Manahij Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)
Baca selengkapnya
—————————–

Rabu, 9 Julai 2014

AlQuran

Barang siapa dekat dengan Al Quran, bererti mereka dekat dengan Allah. Kasihi Al Quran jika mahu dikasihi oleh Allah. Al Quran adalah mukjizat yang sangat tinggi berseni dan berilmiah. Semua persoalan dan undang undang ada di dalam Al Quran, begitulah hebatnya Al Quran yang kekal selamat selamanya kerana Allah yang mencipta dan menjaga Al Quran.

Selasa, 1 Julai 2014

Tiada khasiat yang paling HEBAT dari ini

Posted: 29 Jun 2014 10:00 PM PDT



Pengetahuan yang patut kita kongsi bersama,sumber dari 'google'. :)


"Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sampaikan dari ku walaupun sepotong ayat."

(1) BISMILLAH (Dengan Nama Allah)
Barangsiapa membaca sebanyak 21 kali ketika hendak tidur, nescaya terpelihara dari godaan dan gangguan syaitan, dari bencana manusia dan jin, daripada kecurian dan kebakaran, dan daripada kematian terkejut. Dan barang siapa membaca sebanyak 50 kali diahadapan orang yang zalim, hinalah dan masuk ketakutan dalam hati si zalim serta naiklah keberanian dan kehebatan kepada pembaca.
 

(2) SURAH AL-FATIHAH (Pembukaan)
Barangsiapa membacanya sebanyak 41 kali diantara sembahyang sunatnya, nescaya permintaannya di perkenankan, jika sakit lekas sembuh dan nescaya dikasihi oleh makhluk dan ditakuti oleh musuh. Barang siapa membaca 20 kali sesudah tiap-tiap sembahyang fardhu, nescaya rezkinya dilapangkan oleh Tuhan dan bertambah baik keadaannya, serta bercahaya rohaninya.

(3) AYAT AL-KURSI (Kekuasaan Allah)
Barangsiapa membacanya sekali selepas setiap sembahyang fardhu, nescaya terpelihara dari tipudaya dan ganguan syaitan. Dengan membacanya, seorang yang miskin akan menjadi kaya, dan jika dibaca ketika hendak tidur nescaya akan terselamat dari kecurian, kebakaran dan kekaraman.

Barangsiapa sentiasa membaca ayat Al-Kursi, nescaya Allah akan kurniakan kepada ahli rumahnya kebaikkan yang tidak terhitung banyaknya. Barangsiapa berwudhuk lalu membaca sekali, nescaya Allah Akan meninggikan darjatnya setinggi 40 darjat dan Allah akan mendatangkan para malaikat menurut bilangan hurufnya, seraya berdoa untuk sipembaca sehinggalah ke hari Qiamat.
Dan tersebut dalam hadith yang lain : Barangsiapa membacanya ketika hendak tidur, nescaya Allah akan membuka pintu rahmat baginya hingga kesubuh, dan mengurniakan kota nur menurut bilangan rambut dibadannya.

Jika sipembacanya meninggal dunia pada malam itu, ia dikira mati syahid.

Hadith yang lain mengatakan: Barangsiapa membacanya selepas setiap sembahyang fardhu, nescaya akan terpelihara dari kekerasan malakul-maut, dan Allah sendiri yang mencabut rohnya, dan dia akan dibangkitkan bersama para Mujahid yang berjihad beserta para Anbiya hingga ia gugur mati Syahid.
Imam Jaafar Shadiq . a. mengatakan: Barangsiapa membaca sekali, nescaya Allah akan menghindar darinya 1,000 kesukaran duniawi, yang terkecil sekali ialah kemiskinan dan kepapaan, dan 1,000 kesukaran ukhrawi, yang terkecil sekali ialah azab neraka. 

(4) SURAH AL-BAQARAH (Sapi Betina) 
Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surah ini (Amanarrasulu) sebelum tidur, ia akan terselamat dari segala bala bencana dan mara bahaya.

(5) SURAH ALI-IMRAN (Keluarga Imran)
Barangsiapa membaca tiga ayat yang pertama dari surah ini, Nescaya ia akan mencapai kesihatan dari segala penyakit dan terselamat dari gangguan jin.

(6) SURAH AN-NISSA' (Perempuan)
Barangsiapa yang membaca ayat yang ke 75 dari surah ini, nescaya ia akan terselamat dari kejahatan para penjahat. 

(7) SURAH AL-MAIDAH (Hidangan) 
Barang siapa membaca ayat yang ke 7 dari surah ini, sebanyak yang mungkin selama 3 hari berturut -turut, insya Allah akan terselamat dari was-was semasa wudhu dan sembahyang.

Barang siapa membaca ayat 89 hingga ayat 101dari surah ini, keatas air lalu diberi minum kepada orang yang bercakap dusta, nescaya ia tidak akan bercakap dusta lagi. 

(8) SURAH AL-AN'AM (Binatang Ternak)
Barang siapa membacanya sebanyak 7 kali, nescaya akan terhindar dari segala bala bencana. Jika ayat 63 dan 64 dari surah ini, dibaca oleh penumpang kapal, ia akan terselamat dari karam dan tenggelam.

(9) SURAH AL-A'RAAF (Benteng Tinggi)
Barang kali membaca ayat 23 dari surah ini, selepas tiap-tiap sembahyang fardhu, lalu beristighfar kepada Allah, nescaya akan terampun segala dosanya. Barang siapa membaca ayat 47 dari surah ini, ia akan terpelihara dari kekacauan para penzalim serta ia akan mendapat rahmat Allah. 

(10) SURAH AL- ANFAL (Rampasan) 
Barang siapa membaca ayat 62 dan 63 dari surah ini, nescaya dia akan di cintai dan dihormati oleh sekalian manusia. 

(11) SURAH AL-BARAAH (AT-TAUBAH) (Pemutus perhubungan)
Barangsiapa membacanya, nescaya akan terselamat dari kemunafiqan dan akan mencapai hakikat iman. Barang siapa membaca ayat 111 dari surah ini, dikedai atau ditempat-tempat perniagaan, nescaya akan maju perniagaannya itu. 

(12) SURAH YUNUS (Yunus)
Barangsiapa membaca ayat 31dari surah ini, ke atas Perempuan yang hamil, nescaya ia melahirkan anak dalam kandungannya itu dengan selamat. Barangsiapa membaca ayat 64 dari surah ini, nescaya ia akan terhindar dari mimpi-mimpi yang buruk dan mengigau.

(13) SURAH AL-HUD (Hud) 
Barang siapa membaca, nescaya ia akan mendapat kekuatan dan Kehebatan serta ketenangan dan ketenteraman jiwa. Barang siapa membaca ayat 56 dari surah ini, pada setiap masa, nescaya ia akan terselamat dari gangguan manusia yang jahat dan binatang yang liar. Barang siapa membaca ayat112 dari surah ini, sebanyak 11 Kali selepas tiap-tiap sembahyang, nescaya akan mencapai ketetapan hati.

(14) SURAH YUSUF (Yusuf) 
Barang siapa membacanya, akan di murahkan rezekinya dan diberikan kemuliaan kepadanya. Barang siapa membaca ayat 64 dari surah ini, ia akan terhindar dari kepahitan dan kesukaran hidup. Barang siapa membac ayat 68 dari surah ini, nescaya Allah akan mengurniakan kesalehan kepada anak-anaknya. 

(15) SURAH AR-ra'D (Petir)
Barang siapa membaca ayat 13 dari surah ini, ia akan terselamat dari petir. Dan barangsiapa membaca ayat 28 dari surah ini, nescaya Penyakit jantungnya akan sembuh. 

(16) SURAH IBRAHIM (Ibrahim)
Barang siapa membaca ayat-ayat 32 hingga 34 dari surah ini, nescaya anak-anaknya akan terhindar dari perbuatan-perbuatan syirik dan bida'ah.

(17) SURAH AL-IIIJ' (Batu Gunung)
Barang siapa membaca 3 ayat yang terakhir dari surah ini, ke atas perempuan yang selalu anak kandungannya gugur, nescaya anak kandungannya itu akan terselamat, dari gugurnya. 
(18) SURAH BANI ISRAIL (anak-anak Israil)
Barang siapa membacanya ke atas air, lalu diberi minum kepada orang yang bercakap gagap insya Allah akan hilang gagapnya itu. Barang siapa membaca ayat 80 dari surah ini, ketika ia pulang dari perjalanan, nescaya dia akan dimuliakan dan dihormati oleh orang- orang yang setempat dengannya.

(19) SURAH AL-KAHF (Gua)
Barang siapa membacanya, akan terhindar dari kemiskinan dan kepapaan. Barang siapa membacanya pada malam Jumaat, nescaya dia akan mendapat rezeki yang murah. 
(20) SURAH MARYAM (Maryam) 
Barang siapa membacanya, nescaya akan mendapat kejayaan di dunia dan di akhirat.

(21) SURAH THAAHAA (Hai Manusia) 
Barang siapa membacanya, nescaya Allah akan mengurniakan kepadanya ilmu pengetahuan dan akan tercapai segala maksudnya. Barang siapa membaca ayat-ayat 25 hingga 28 sebanyak 21 kali, tiap- tiap hari selepas sembahyang subuh nescaya otaknya akan cerdas dan akalnya akan sempurna. 
(22) SURAH AL ANBIYA (Nabi-Nabi) 
Barang siapa membaca ayat 83 dari surah ini, nescaya dia akan mendapat sebesar-besar pangkat di sisi Allah s. w. t . 

(23) SURAH AL-HAJ (Haji)
Barang siapa membacanya, Allah akan membinasakan musuh-musuhnya. 

(24) SURAH AL-MU'MINUN (Orang-orang Mukmin) 
Barang siapa membacanya ke atas air, lalu diberi minum kepada orang yang selalu minum minuman keras, nescaya dia tidak akan meminumnya lagi. Barang siapa membaca ayat 28 dari surah ini, nescaya perahunya akan terselamat daripada karam dan rumahnya akan terselamat dari kecurian dan serangan musuh. 

(25) SURAH AN-NUUR (Cahaya) 
Barang siapa membacanya, nescaya ia akan terhindar dari mimpi-mimpi yang buruk. Barang siapa membaca ayat 35 dari surah ini, pada hari Jumaat sebelum sembahyang Asar, nescaya dia akan disegani oleh orang ramai. 

(26) SURAH AL-FURQAN (Pembaca)
Barang siapa membacanya sebanyak 3 kali ke atas air yang bersih, lalu air itu dipercikkan di dalam rumah, nescaya rumah itu akan terselamat dari gangguan binatang-binatang yang liar dan ular-ular yang bisa. 

(27) SURAH ASY-SYU A'ra (Ahli-ahli Syair) 
Barang siapa membaca ayat 130 dari surah ini, sebanyak 7 kali dengan senafas ke atas orang-orang yang digigit oleh binatang-binatang yang berbisa nescaya akan hilang bisa-bisa itu. 

(28) SURAH AN-NAML (Semut) 
Barang siapa membacanya nescaya nikmat-nikmat Allah akan kekal kepadanya. 

(29) SURAH AL-QA-SHASH (Cerita)
Barang siapa membacanya ke atas pekerja-pekerjanya, nescaya Mereka tidak akan mencuri dan mengkhianat. Barang siapa membaca ayat-ayat 51 hingga 55 dari surah ini, Nescaya otaknya akan cergas, akalnya akan sempurna dan budi pekertinya akan halus.

(30) SURAH AL-ANKABUT (Labah-labah)
Barang siapa membacanya, nescaya demamnya akan sembuh. Barang siapa membacanya, nescaya ia akan terhindar dari gelisah dan keluh kesah.

(31) SURAH AR-RUM (Rum) 
Barang siapa membacanya, nescaya Allah akan membinasakan orang yang hendak menzaliminya. 
(32) SURAH LUQMAN (Luqman)
Barang siapa membacanya, nescaya ia akan terhindar dari segala-gala penyakit terutama dari penyakit-penyakit perut. Barang siapa membaca ayat 31 dari surah ini, nescaya akan terselamat dari bencana banjir. 

(33) SURAH AS-SAJ DAH (Sujud)
Barang siapa membaca ayat-ayat 7 hingga 9 dari surah ini, ke atas kanak-kanak yang baru lahir, nescaya ia akan terhindar dari segala- gala penyakit ruhani dan jasmani. 

(34) SURAH AL-AHZAB (Golongan-golongan) 
Barang siapa membaca ayat-ayat 45 hingga 48 dari surah ini, nescaya ia akan mendapat kemuliaan dan kehormatan sejati. Dan barang siapa membaca ayat-ayat 60 hingga 66 dari surah ini, nescaya Allah akan membinasakan musuh-musuhnya. (35) SURAH sabar' (sabar') Dengan membacanya, terselamatlah ia dari segala-gala bala bencana, terutamanya dari rosaknya tanam-tanaman.
(36) SURAH FAATHIR (Pencipta)
Barang siapa membaca ayat-ayat 29 dan 30, nescaya Allah Akan memberkati perniagaannya. 
(37) SURAH YAASIIN (Hai Manusia)
Nabi kita Muhammad s. a. w bersabda : "Tiap-tiap sesuatu Mempunyai hati dan hati Al-Quran ialah surah Yaasiin." Yaasiin kerana Allah, nescaya akan terampun segala-gala dosanya kecuali dosa syirik.." Dalam satu hadith yang lain Baginda s. a. w bersabda: "Hendaklah kamu membaca surah Yaasiin ke atas pesakit-pesakitmu yang menghadapi sakaratul- maut, nescaya Allah s. w. t akan meringankan kekerasan sakaratul-maut itu.

"Dalam satu hadith yang lain pula Baginda s. a. w bersabda: "Aku ingin benar, agar surah Yaasiin ini dihafaz oleh tiap-tiap umatku." Barang siapa membacanya sebanyak 41 kali, pasti akan tercapai segala hajat dan cita-citanya. Barang siapa membacanya sebanyak 21 kali pada malam Jumaat, Lalu berdoa istghfar untuk kedua ibu bapanya, nescaya dosa kedua ibu bapanya akan diampunkan oleh Tuhan. Barang siapa membaca sekali ketika membuka kedai atau perniagaan, nescaya akan maju perniagaannya itu. Barang siapa membacanya sekali pada awal malam, andaikata ia mati pada malam itu, mesti ia mati syahid. Barang siapa membacanya sekali selepas tiap-tiap sembahyang Jumaat, nescaya ia akan diselamatkan dari siksa kubur.

Jika dibacanya oleh seorang askar, ketika ia hendak turun kemedan peperangan, Allah akan mengurniakan kepadanya keberanian dan kegagahan, serta naiklah ketakutan pada musuh-musuhnya. Hikmat-hikmat dan khasiat-khasiat surah Yaasiin ini banyak benar didapati di dalam kitab-kitab hadith tetapi cukuplah setakat ini untuk diamal oleh anda sekalian.

(38) SURAH ASH-SHAAFFAAT (Yang Berbaris)
Barang siapa membacanya, insya Allah in akan terpelihara daripada gangguan jin. 

(39) SURAH SHAAD (Shaad)
Dengan membaca ayat 42 dari surah ini, nescaya akan mendapat kebahagian sejati. Insyallah rakan- rakan semua akan mendapat 'Sayangilah Diri Anda Sebelum Menyayangi Insan Lain"


Wallahua'alam
lovinbeautycare.blogspot.

Isnin, 23 Jun 2014

Kisah Benar Taubat Nasuha Seorang Pramugari

ISNIN, 23 JUN 2014

Kisah Benar Taubat Nasuha Seorang Pramugari

Selama hampir sembilan tahun menetap di Mekah dan membantu ayah saya menguruskan jemaah haji dan umrah, saya telah melalui pelbagai pengalaman menarik dan pelik. Bagaimanapun, dalam banyak-banyak peristiwa itu, ada satu kejadian yang pasti tidak akan saya lupakan sampai bila-bila.

hqdefault
Ianya berlaku kepada seorang wanita yang berusia di pertengahan 30-an.Kejadian itu berlaku pada pertengahan 1980-an semasa saya menguruskan satu rombongan haji. Ketika itu umur saya 20 tahun dan masih menuntut di Universiti Al-Azhar, Kaherah. Kebetulan ketika itu saya balik ke Mekah sekejap untuk menghabiskan cuti semester.
 


Saya menetap di Mekah mulai 1981 selepas menamatkan pengajian di Sekolah Agama Gunung Semanggol, Perak. Keluarga saya memang semuanya di Mekah, cuma saya seorang saja tinggal dengan nenek saya di Perak. Walaupun masih muda, saya ditugaskan oleh bapa saya, Haji Nasron untuk menguruskan jemaah haji dan umrah memandangkan saya adalah anak sulung dalam keluarga.

Berbalik kepada cerita tadi, ketibaan wanita tersebut dan rombongan haji di Lapangan Terbang Jeddah kami sambut dengan sebuah bas. Semuanya nampak riang sebab itulah kali pertama mereka mengerjakan haji. Sebaik sampai, saya membawa mereka menaiki bas dan dari situ, kami menuju ke Madinah. Alhamdulillah, segalanya berjalan lancar hinggalah kami sampai di Madinah. Tiba di Madinah, semua orang turun dari bas berkenaan. Turunlah mereka seorang demi seorang sehingga tiba kepada giliran wanita terbabit.

Tapi tanpa apa-apa sebab, sebaik sahaja kakinya mencecahkan bumi Madinah, tiba-tiba wanita itu tumbang tidak sedarkan diri. Sebagai orang yang dipertanggungjawabkan mengurus jemaah itu, saya pun bergegas menuju ke arah wanita berkenaan. “Kakak ni sakit,” kata saya pada jemaah-jemaah yang lain. Suasana yang tadinya tenang serta merta bertukar menjadi cemas. Semua jemaah nampak panik dengan apa yang sedang berlaku.

“Badan dia panas dan menggigil. Kakak ni tak sedarkan diri, cepat tolong saya…kita bawa dia ke hospital,” kata saya.Tanpa membuang masa, kami mengangkat wanita tersebut dan membawanya ke hospital Madinah yang terletak tidak jauh dari situ. Sementara itu, jemaah yang lain dihantar ke tempat penginapan masing-masing.

Sampai di hospital Madinah, wanita itu masih belum sedarkan diri. Berbagai-bagai usaha dilakukan oleh doktor untuk memulihkannya, namun semuanya gagal. Sehinggalah ke petang, wanita itu masih lagi koma. Sementara itu, tugas mengendalikan jemaah perlu saya teruskan. Saya terpaksa meninggalkan wanita tersebut terlantar di hospital berkenaan. Namun dalam kesibukan menguruskan jemaah, saya menghubungi hospital Madinah untuk mengetahui perkembangan wanita tersebut.

Bagaimanapun, saya diberitahu dia masih tidak sedarkan diri. Selepas dua hari, wanita itu masih juga tidak sedarkan diri. Saya makin cemas, maklumlah, itu adalah pengalaman pertama saya berhadapan dengan situasi seperti itu. Memandangkan usaha untuk memulihkannya semuanya gagal, maka wanita itu dihantar ke Hospital Abdul Aziz Jeddah untuk mendapatkan rawatan lanjut sebab pada masa itu hospital di Jeddah lebih lengkap kemudahannya berbanding hospital madinah. Namun usaha untuk memulihkannya masih tidak berhasil. Jadual haji mesti diteruskan. Kami bertolak pula ke Mekah untuk mengerjakan ibadat haji.. Selesai haji, sekali lagi saya pergi ke Jeddah. Malangnya, bila sampai di Hospital King Abdul Aziz, saya diberitahu oleh doktor bahawa wanita tersebut masih koma. Bagaimanapun, kata doktor, keadaannya stabil. Melihat keadaannya itu, saya ambil keputusan untuk menunggunya di hospital.

Selepas dua hari menunggu, akhirnya wanita itu membuka matanya. Dari sudut matanya yang terbuka sedikit itu, dia memandang ke arah saya. Tapi sebaik saja terpandang wajah saya, wanita tersebut terus memeluk saya dengan erat sambil menangis teresak- esak. Sudah tentu saya terkejut sebab saya ni bukan muhrimnya. Tambahan pula kenapa saja dia tiba-tiba menangis??

Saya bertanya kepada wanita tersebut, “Kenapa kakak menangis?” “Mazlan.. kakak taubat dah Lan. Kakak menyesal, kakak takkan buat lagi benda-benda yang tak baik. Kakak bertaubat, betul-betul taubat.”

“Kenapa pulak ni kak tiba-tiba saja nak bertaubat?” tanya saya masih terpinga-pinga. Wanita itu terus menangis teresak-esak tanpa menjawab pertanyaan saya itu. Seketika kemudian dia bersuara , menceritakan kepada saya mengapa dia berkelakuan demikian, cerita yang bagi saya perlu diambil iktibar oleh kita semua. Katanya, “Mazlan, kakak ni sudah berumah tangga, kahwin dengan lelaki orang putih. Tapi kakak silap.

Kakak ini cuma Islam pada nama dan keturunan saja. Ibadat satu apa pun kakak tak buat. Kakak tak sembahyang, tak puasa, semua amalan ibadat kakak dan suami kakak tak buat. Rumah kakak penuh dengan botol arak. Suami kakak tu kakak sepak terajang, kakak pukul-pukul saja,” katanya tersedu-sedan.

“Habis yang kakak pergi haji ini?” “Yalah…kakak tengok orang lain pergi haji, kakak pun teringin juga nak pergi.” “Jadi apa sebab yang kakak menangis sampai macam ni sekali. Ada sesuatu ke yang kakak alami semasa sakit?” tanya saya lagi.

Dengan suara tersekat-sekat, wanita itu menceritakan, “Mazlan…Allah itu Maha Besar, Maha Agung, Maha Kaya. Semasa koma tu, kakak telah di azab dengan seksaan yang benar-benar pedih atas segala kesilapan yang telah kakak buat selama ini. “Betul ke kak?” tanya saya, terkejut.

“Betul Mazlan. Semasa koma itu kakak telah ditunjukkan oleh Allah tentang balasan yang Allah beri kepada kakak. Balasan azab Lan, bukan balasan syurga. Kakak rasa seperti di azab di neraka. Kakak ni seumur hidup tak pernah pakai tudung. Sebagai balasan, rambut kakak ditarik dengan bara api. Sakitnya tak boleh nak kakak ceritakan macam mana pedihnya. Menjerit-jerit kakak minta ampun minta maaf kepada Allah.”

“Bukan itu saja, buah dada kakak pula diikat dan disepit dengan penyepit yang dibuat daripada bara api, kemudian ditarik ke sana-sini… putus, jatuh ke dalam api neraka. Buah dada kakak rentung terbakar, panasnya bukan main. Kakak menjerit, menangis kesakitan.. Kakak masukkan tangan ke dalam api itu dan kakak ambil buah dada tu balik.” tanpa mempedulikan pesakit lain dan jururawat memerhatikannya wanita itu terus bercerita.

Menurutnya lagi, setiap hari dia diseksa, tanpa henti, 24 jam sehari. Dia tidak diberi peluang langsung untuk berehat atau dilepaskan daripada hukuman sepanjang masa koma itu dilaluinya dengan azab yang amat pedih.

Dengan suara tersekat-sekat, dengan air mata yang makin banyak bercucuran, wanita itu meneruskan ceritanya, “Hari-hari kakak diseksa. Bila rambut kakak ditarik dengan bara api, sakitnya terasa seperti nak tercabut kulit kepala.. Panasnya pula menyebabkan otak kakak terasa seperti menggelegak. Azab itu cukup pedih…pedih yang amat sangat…tak boleh nak diceritakan. ” sambil bercerita, wanita itu terus meraung, menangis teresak-esak. Nyata dia betul-betul menyesal dengan kesilapannya dahulu.
Saya pula terpegun, kaget dan menggigil mendengar ceritanya. Begitu sekali balasan Allah kepada umatnya yang ingkar. “Mazlan… kakak ni nama saja Islam, tapi kakak minum arak, kakak main judi dan segala macam dosa besar.

Kerana kakak suka makan dan minum apa yang diharamkan Allah, semasa tidaksedarkan diri itu kakak telah diberi makan buah-buahan yang berduri tajam. Tak ada isi pada buah itu melainkan duri-duri saja. tapi kakak perlu makan buah-buah itu sebab kakak betul-betul lapar. “Bila ditelan saja buah-buah itu, duri-durinya menikam kerongkong kakak dan bila sampai ke perut, ia menikam pula perut kakak.

Sedangkan jari yang tercucuk jarum pun terasa sakitnya, inikan pula duri-duri besar menyucuk kerongkong dan perut kita. Habis saja buah-buah itu kakak makan, kakak diberi pula makan bara-bara api. Bila kakak masukkan saja bara api itu ke dalam mulut, seluruh badan kakak rasa seperti terbakar hangus.

Panasnya cuma Allah saja yang tahu. Api yang ada di dunia ini tidak akan sama dengan kepanasannya. Selepas habis bara api, kakak minta minuman, tapi…kakak dihidangkan pula dengan minuman yang dibuat dari nanah. Baunya cukup busuk. Tapi kakak terpaksa minum sebab kakak sangat dahaga. Semua terpaksa kakak lalui… azabnya tak pernah rasa, tak pernah kakak alami sepanjang kakak hidup di dunia ini.”

Saya terus mendengar cerita wanita itu dengan tekun.. Terasa sungguh kebesaran Allah. “Masa di azab itu, kakak merayu mohon kepada Allah supaya berilah kakak nyawa sekali lagi, berilah kakak peluang untuk hidup sekali lagi. Tak berhenti-henti kakak memohon. Kakak kata kakak akan buktikan bahawa kakak tak akan ulangi lagi kesilapan dahulu. Kakak berjanji tak akan ingkar perintah Allah akan jadi umat yg soleh.

Kakak berjanji kalau kakak dihidupkan semula, kakak akan tampung segala kekurangan dan kesilapan kakak dahulu, kakak akan mengaji, akan sembahyang, akan puasa yang selama ini kakak tinggalkan.” Saya termenung mendengar cerita wanita itu. Benarlah, Allah itu Maha Agung dan Maha Berkuasa.. Kita manusia ini tak akan terlepas daripada balasannya. Kalau baik amalan kita maka baiklah balasan yang akan kita terima, kalau buruk amalan kita, maka azablah kita di akhirat kelak. Alhamdulillah, wanita itu telah menyaksikan sendiri kebenaran Allah.

“Ini bukan mimpi Mazlan. Kalau mimpi azabnya takkan sampai pedih macam tu sekali. Kakak bertaubat Mazlan, kakak tak akan ulangi lagi kesilapan kakak dahulu. Kakak bertaubat… kakak taubat nasuha,” katanya sambil menangis-nangis.

Sejak itu wanita berkenaan benar-benar berubah. Bila saya membawanya ke Mekah, dia menjadi jemaah yang paling warak. Amal ibadahnya tak henti-henti. Contohnya, kalau wanita itu pergi ke masjid pada waktu maghrib, dia cuma akan balik ke biliknya semula selepas sembahyang subuh.
“Kakak…yang kakak sembahyang teruk-teruk ni kenapa. Kakak kena jaga juga kesihatan diri kakak. Lepas sembahyang Isyak tu kakak baliklah, makan nasi ke, berehat ke…” tegur saya. “Tak apalah Mazlan. Kakak ada bawa buah kurma. Bolehlah kakak makan semasa kakak lapar.” menurut wanita itu, sepanjang berada di dalam Masjidil Haram, dia mengqadakan semula sembahyang yang ditinggalkannya dahulu.

Selain itu dia berdoa, mohon kepada Allah supaya mengampunkan dosanya. Saya kasihan melihatkan keadaan wanita itu, takut kerana ibadah dan tekanan perasaan yang keterlaluan dia akan jatuh sakit pula. Jadi saya menasihatkan supaya tidak beribadat keterlaluan hingga mengabaikan kesihatannya. “Tak boleh Mazlan.. Kakak takut… kakak dah merasai pedihnya azab tuhan. Mazlan tak rasa, Mazlan tak tau. Kalau Mazlan dah merasai azab itu, Mazlan juga akan jadi macam kakak. Kakak betul- betul bertaubat.”

Wanita itu juga berpesan kepada saya, katanya, “Mazlan, kalau ada perempuan Islam yang tak pakai tudung, Mazlan ingatkanlah pada mereka, pakailah tudung. Cukuplah kakak seorang saja yang merasai seksaan itu, kakak tak mau wanita lain pula jadi macam kakak. Semasa di azab, kakak tengok undang-undang yang Allah beri ialah setiap sehelai rambut wanita Islam yang sengaja diperlihatkan kepada orang lelaki yang bukan muhrimnya, maka dia diberikan satu dosa. Kalau 10 orang lelaki bukan muhrim tengok sehelai rambut kakak ini, bermakna kakak mendapat 10 dosa.”

“Tapi Mazlan, rambut kakak ini banyak jumlahnya, beribu-ribu. Kalau seorang tengok rambut kakak, ini bermakna beribu-ribu dosa yang kakak dapat. Kalau 10 orang tengok, macam mana? Kalau 100 orang tengok? Itu sehari, kalau hari-hari kita tak pakai tudung macam kakak ni??? Allah…”

“Kakak berazam, balik saja dari haji ini, kakak akan minta tolong dari ustaz supaya ajar suami akak sembahyang, puasa, mengaji, buat ibadat. Kakak nak ajak suami pergi haji. Seperti mana kakak, suami kakak tu Islam pada nama saja. Tapi itu semua kesilapan kakak. Kakak sudah bawa dia masuk Islam, tapi kakak tak bimbing dia. Bukan itu saja, kakak pula yang jadi seperti orang bukan Islam.”
Sejak balik dari haji itu, saya tak dengar lagi apa-apa cerita tentang wanita tersebut. Bagaimanapun, saya percaya dia sudah menjadi wanita yang benar-benar solehah. Adakah dia berbohong kepada saya tentang ceritanya di azab semasa koma? Tidak. Saya percaya dia bercakap benar. Jika dia berbohong, kenapa dia berubah dan bertaubat nasuha?

Satu lagi, cubalah bandingkan azab yang diterimanya itu dengan azab yang digambarkan oleh Allah dan Nabi dalam Al-Quran dan hadis. Adakah ia bercanggah? Benar, apa yang berlaku itu memang kita tidak dapat membuktikannya secara saintifik, tapi bukankah soal dosa dan pahala, syurga dan neraka itu perkara ghaib? Janganlah bila kita sudah meninggal dunia, bila kita sudah di azab barulah kita mahu percaya bahawa “Oh… memang betul apa yang Allah dan Rasul katakan. Aku menyesal….” itu dah terlambat..


Sumber: Greenboc

Ahad, 8 Jun 2014

berdoa di kuburan

Islam Saja telah ditanda pada gambar Ali Petra III.

8 hrs · Telah Disunting ·
 · 
SHALAT DAN DOA DI KUBURAN
---
Oleh: Najmu al-Din Thabasi
Pandangan Kaum Wahhabi:
Shalat dan Doa di Kuburan Nabi saww dan Kuburan Lainnya
Wahhabiah melarang shalat dan doa di kuburan. Mereka menganggapnya sebagai perbuatan syirik dan kafir. Ibnu Taimiyyah berkata, “Para shahabat, ketika berada di dekat kubur Nabi saww, mereka mengucap salam kepada beliau. Kalau mereka ingin berdoa sementara mereka sedang berhadapan dengan kubur beliau, mereka tidak melakukan doa kepada Allah sebelum membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah kiblat.
Begitu pula kalau berada di pekuburan lainnya. Karena itulah tidak seorangpun dari para salaf (orang terdahulu) yang berpandangan bahwa shalat di kuburan atau tempat-tempat para wali itu, adalah sunnah. Dan tidak seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa berdoa di tempat-tempat itu lebih baik dari tempat-tempat lainnya. Bahkan mereka telah berittifak (sepakat) bahwa shalat di masjid-masjid dan rumah-rumah sendiri, lebih afdhal dari pada dikerjakan di kuburan para wali dan orang-orang shalih, baik kuburan itu adalah kuburan yang dianggap suci atau tidak.”[1]
-
Sanggahan atas Pandangan Wahhabi:
Jawaban
Pertama. Adanya riwayat yang mengatakan bahwa shalat dan doa boleh dikerjakan dimana saja, menjadi dalil terhadap bolehnya shalat dan doa di kuburan Nabi saww, para nabi dan orang-orang shalih. Karena itu, fatwa kebolehannya dilihat dari sisi keumuman dan kemutlakannya (ayat dan riwayatnya, penj.).
Kedua. Yang dapat dipahami dari agama Islam, adalah bahwa shalat dan doa serta semua ibadah-ibadah lainnya, kalau dikerjakan di tempat-tempat yang dianggap mulia oleh agama sendiri, maka memiliki nilai lebih. Dari sisi lain, kemulian suatu tempat selaras dengan orang yang ada di tempat itu. Bagitu pula kemulian suatu kuburan, tergantung kepada kemulian tubuh yang telah dikuburkan di dalamnya. Apakah menurut agama, kuburan Nabi saww tidak memiliki kemuliaan??!
Ketiga. Ayat yang berbunyi, “Dan kalau mereka yang berbuat aniaya itu –melakukan dosa- datang kepadamu –Muhammad- dan meminta ampun kepada Allah dan RasulNyapun memintakan ampunan untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapatkan Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih.”, menunjukkan bahwa berdoa di kubur Nabi saww memiliki nilai lebih dan keutamaan. Karena kata “Jaauuka”, yakni “datang kepadamu” mencakup kejadian pada masa kehidupan Nabi saww dan setelah kehidupan beliau. Penghormatan kepada Nabi saww tidak berbeda antara pada waktu beliau masih hidup atau setelah beliau wafat. Imam Maalik, ketika bertemu dengan al-Manshuur, telah dengan tegas menyatakan hal ini.[2]
Syamsu al-Diin Jazrii berkata, “Kalau berdoa di kubur Nabi saww tidak mustajab, maka dimana lagi yang bisa mustajab?!”
-
Sirah Hadhrat Faathimah as
Keempat. Kehidupan Hadhrat Faathimah as berbeda dari pandangan para Wahhabi. Beliau as selalu menziarahi kubur paman beliau, Sayyiduna Hamzah, setiap hari Jumat dan melakukan shalat serta menangis di kuburannya.[3]
Tentang riwayat ini, Haakim berkata, “Semua perawi hadits ini, sampai ke yang paling akhir, adalah orang-orang tsiqah. Aku benar-benar meneliti secara dalam hadits-hadits yang menganjurkan ziarah kubur agar aku bisa menjadi bagian dari orang-orang yang merangsang kepada ziarah kubur dan bisa mendapatkan pahala dari padanya. Insan, sebagai makhluk yang hina ini, mesti mengetahui bahwa ziarah kubur adalah kesunnahan yang pasti. Mesti diperhatikan bahwa Sayyiduna Hamzah ra. syahid pada tahun ke tiga Hijrah, sementara Nabi saww wafat pada tahun ke sebelas. Dalam pada itu, Hadhrat Faathimah as selama tujuh tahun, setiap hari Jumat selalu meninggalkan kota Madinah untuk menuju gunung Uhud untuk menziarahi kubur Sayyiduna Hamzah ra dimana perbuatannya ini dilihat oleh Nabi saww dan beliaupun tidak pernah melarangnya. Hadhrat Faathimah as –sesuai dengan pandangan Ahlussunnah[4]- tidak hidup lebih dari enam bulan setelah wafatnya Rasulullah saww dimana dalam waktu yang pendek inipun, tetap menziarahi kubur sayyiduna Hamzah ra yang, sudah tentu perbuatannya itu dilihat oleh semua shahabat dan imam Ali as Namun demikian tidak satupun dari mereka yang pernah melarangnya. Dalam riwayat dikatakan, ‘Hadhrat Faathimah al-Shiddiqah, selalu menziarahi kuburan syahid di Uhud setiap dua atau tiga hari sekali. Disana melakukan shalat, berdoa dan menangis.’”[5]
Apakah sunnah Nabi saww tidak diketahui oleh Hadhrat Faathimah as -yang dengan senangnya membuat Rasulullah saww senang dan dengan murkanya membuat beliu murka?[6] Apakah ziarah kubur yang dilakukannya bertentangan dengan ajaran Nabi saww? Apakah hakikat ini, benar-benar tidak dapat dimengerti oleh Ibnu Taimiyyah, hingga ia berani berkata: “Tak satupun dari para salaf (orang terdahulu) yang mengatakan: ‘Shalat di kuburan adalah sunnah’?”[7]
-
Sirah Kaum Muslimin
Kelima. Perjalanan hidup kaum muslimin sejak dari jaman Nabi saww sampai sekarang, biasa melakukan doa dan shalat di pekuburan para shalih dan mukmin[8], seperti:
1. Perbuatan Umar bin Khaththaab
Thabarii berkata, “Ketika Umar beserta rombongan haji lainnya, sudah keluar dari kota Madinah, ada seorang kakek yang meminta tolong kepadanya. Sewaktu Umar pulang dari melakukan hajinya dan telah sampai di daerah peristirahatan yang bernama Abwaa’, ia bertanya tentang kakek yang telah meminta tolong kepadanya itu. Umar akhirnya tahu bahwa kakek tersebut telah meninggal. Aku seakan melihat Umar ketika mendengar riwayat ini yang mengatakan bahwa Umar sekonyong-konyong berdiri dari duduknya dan bergegas dengan langkah-langkah panjangnya menuju ke kuburan kakek yang dimaksud dan melakukan shalat di atasnya kemudian ia merangkuli kuburannya sambil sesenggukan menangis.”[9]
2. Perbuatan imam Syaafi’ii
Ia berkata, “Aku bertabarruk dengan Abu Hanifah.
Kalau aku punya hajat, aku melakukan dua rakaat shalat di kuburannya, lalu akau berdoa kepada Allah di kuburannya itu untuk mendapatkan hajatku.”[10]
3. Kuburan Ma’ruuf Karakhii
Telah diriwayatkan dari Zuhri yang berkata, “Telah terbukti keistijabahan doa hajat di kuburan Ma’ruuf Karakhii. Dan juga telah dikatakan bahwa siapa saja yang membaca seratus kali surat tauhid di kuburannya, lalu memohon hajatnya kepada Allah, maka akan terkabul.”[11]
Ibraahiim al-Harbii berkata, “Kuburan Ma’ruuf Karakhii adalah obat penangkal bisa ular yang telah terbukti kemujarabannya.”
Dzahabii berkata, “Doa orang yang terdesak di kuburannya, dapat menjadi mustajab. Karena doa di dekat kuburan berberkah, dikabulkan Tuhan.”[12]
Ahmad bin Fath berkata, Telah ditanya kepada seorang taabi’iin besar (shahabatnya shahabat Nabi saww) tentang kuburan Karakhii yang terkenal itu. Ia menjawab, “Siapa saja yang ia –Karakhii- kehendaki, maka doanya akan diterima Tuhan. Karena itu maka datangilah kuburnya dan berdoalah. Karena doamu InsyaAllah akan dikabulkanNya!”[13]
Ibnu Sa’ad berkata, “Orang-orang meminta hujan kepada Allah dari kuburan Karakhii.
Kuburannya sangat jelas dan orang-orang menziarahinya siang dan malam.”[14]
Sibthu ibnu Jauzii mendengar dari guru-gurunya di Baghdad, yang mengatakan bahwa ‘Aunu al-Diin telah berkata, “Alasan aku menerima tawaran menjadi kepada bagian keamanan gudang, adalah karena sebegitu sulitnya kehidupanku kala itu, hingga aku dalam beberapa hari tidak memiliki sepotong rotipun untuk dimakan. Beberapa orang dari keluargaku menyuruhku datang ke kuburan Karakhii untuk memohon kepada Allah, karena doa di kuburannya sangat mustajab.”[15]
Ia meneruskan, “Akhirnya aku pergi ke kuburan Ma’ruuf. Di sana aku melakukan shalat dan doa. Setelah itu aku keluar dari makannya itu. Aku ingin pergi ke Baghdaad supaya aku bisa ke Qathfataa[16]. Di tengah jalan kulihat sebuah masjid yang sudah tidak dipakai lagi. Aku masuk ke dalamnya dan melakukan shalat dua rokaat. Di dalam masjid aku melihat satu orang yang kelihatan sakit dan membujur di atas sebuah tikar. Setelah shalat aku mendekatinya dan duduk di dekat kepalanya dan berkata kepadanya: ‘Apa yang kamu inginkan?’ Ia menjawab, “Buah Per.” Aku keluar masjid dan mencari penjual buah. Aku mendapatkannya dan menggadaikan rok kerjaku (biasanya dibuat dari kulit binatang, pentj.) untuk mendapatkan dua biji buah per dan satu biji apel. Aku menyerahkan buah per itu kepadanya dan iapun memakannya. Kemudian ia berkata: ‘Tutuplah pintu masjid itu!’ Akupun menutup pintau masjid. Orang itu bangun dari tikarnya dan berkata, “Galilah tempat ini!” Akupun menggali tempat itu. Tidak lama berselang, kulihat sebuah guci. Orang itu berkata, “Ambillah guci itu karena kamu lebih pantas menjadi pemiliknya!” Aku bertanya kepadanya, “Apakah kamu tidak punya ahli waris?” Ia menjawab, “Tidak. Aku hanya punya satu saudara yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa dan telah dikabarkan kepadaku bahwa ia telah meninggal.”
Begitulah ia terus berbicara sampai ia meninggal dunia. Akupun memandikan dan mengkafaninya serta menguburkannya.
Setelah itu aku pergi ke istana kekhalifaan dan menulis surat (lamaran kerja, penj.). Akupun diterima menjadi pimpinan gudang. Begitulah seterusnya, selangkah demi selangkah pekerjaanku maju hingga pernah juga menjadi mentri.”[17]
4. Kuburan Syaafi’ii
Jazrii berkata, “Berdoa di kuburannya adalah mustajab.”[18]
5. Kuburan Bakkaar Bakraawii al-Hanafi (wafat 270 H)
Dia dikuburkan di pekuburan Qaraafah. Kuburannya terkenal dan menjadi tempat ziarah. Masyarakat bertabarruk dengan kuburannya dan telah dikatakan bahwa: Bedoa di kuburannya adalah mustajab.[19]
6. Kuburan Haafizh ‘Amirii (wafat 403 H)
Di malam haripun masyarakat menziarahi kuburannya dan membacakan al-Quran di atasnya. Begitu pula berdoa untuknya.[20]
7. Kuburan Abu Bakar Ishfahaani (wafat 406 H)
Ia dikuburkan di pekuburan Hiirah di pinggiran kota Niisyaabuur (Iran). Makamnya sangat menonjol dan menjadi tempat ziarah masyarat umum. Masyarakat meminta hujan kepada Allah di kuburannya. Berdoa di kuburannya adalah mustajab.[21]
8. Kuburan Sayyidah Nafiisah
Ia adalah putri Abu Muhammad Hasan bin Zaid. Ibnu Khaliqaan berkata, “Ia dikuburkan di pintu -masuk kota- Al-Sibaa’ di Mesir. Sudah sangat terkenal sekali tentang keistijabahan doa di kuburannya. Begitu pula sudah sangat terbukti. Semoga Tuhan merahmatinya.”[22]
9. Kuburan Nashr bin Ibraahiim Maqdisii (wafat 490 H)
Ia adalah Syaikhnya Syaafi’ii dimana Nawawii pernah berkata, “Kami mendengar dari para Syaikh bahwa berdoa di kuburannya adalah mustajab.”[23]
10. Kuburan Abu al-Hasan al-Meshri
Dia adalah seorang ahli fikih madzhab Syaafi’ii yang meninggal tahun 492 H. Ibnu al-Inmaathi berkata, “Kuburannya ada di Qaraafah. Terkenal sekali bahwa berdoa di kuburannya menjadi mustajab.”[24]
11. Kubur Qaasim bin Fiirah al-Syaathibii (wafat 590 H)
Dia dikuburkan di Qaraafah dan kuburannya terkenal. Pengarang kitab Thabaqaatu al-Qurraa’ berkata, “Aku sering kali menziarahi kuburnya. Temanku yang menyarankanku untuk menziarahi kuburnya. Aku melihat sendiri keistijabahan doa di kuburnya.”[25]
12. Kuburan Ibnu Jauzii (wafat 597 H)
Dzahabi berkata, “Masyarakat di malam-malam suci bulan Ramadhan mengerumuni kuburannya. Mereka dengan membawa lilin dan lentera, melakukan khataman al-Quran berkali-kali.”[26]
-
Pandangan-pandangan Ulama Yang Menentang Pandangan Wahhabi:
1. Suyuuthii
Ia dalam sejarah mi’raj berkata: Telah diriwayatkan dari Rasulullah saww, Aku menunggangi sebuah tunggangan dan berangkat di malam hari. Semenrata Jibril menyertaiku. Suatu ketika, Jibril berkata: “Turunlah di sini dan lakukanlah shalat!” Akupun melakukan apa yang ia katakan itu. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah kamu dimana kamu melakukan shalat? Kamu melakukan shalat di Thayyibah[27], tempat dimana kamu akan berhijrah kepadanya.” Kami meneruskan melakukan perjalanan sampai ia memintaku turun dan melakukan shalat. Akupun melakukan apa yang ia katakan itu. Jibril as berkata, “Tahukah kamu dimana kamu melakukan shalat ini? Kamu melakukan shalat di Thuur Siinaa, tempat dimana Allah berbicara dengan Nabi Musa as.” Setelah itu kami meneruskan perjalanan sampai ia berkata lagi, “Turunlah dan lakukan shalat!” Akupun melakukan shalat sebagaimana yang ia minta.
Kemudian Jibril as berkata, “Tahukah kamu dimana kamu melakukan shalat? Kamu melakukannya di Bait Lahm, tempat dimana Nabi Isa as dilahirkan.”[28]
Kalau tempat kelahiran Nabi Isa as sebegitu mulianya hingga Nabi saww diminta turun[29] dan melakukan shalat, maka sudah pasti tempat lahir dan dikuburkannya Nabi saww lebih mulia dan layak untuk melakukan shalat di atasnya.
2. Ibnu Qayyim Jauzii (Murid Ibnu Taimiyyah)
Ia berkata, “Siti Hajar dan nabi Ismail, dikarenakan kesabaran mereka di jalan Allah dalam memikul rasa rindu, terasing –berdua di padang sahara tak berpenghuni- dan menyerah terhadap perintahNya dikala harus disembelih, maka mereka sampai kepada derajat dimana tempat langkah-langkah mereka antara Shafa dan Marwah, dijadikan –oleh Islam- sebagai tempat ibadahnya umat beriman, sampai pada hari kiamat tiba.”[30]
Kita melihat bahwa Ibnu Qayyim meyakini bahwa tempat langkah-langkah siti Hajar dan Ismail, dijadikan tempat ibadah, shalat dan amalan-amalan agama yang lainnya. Karena itu, mengapa tempat kelahiran dan pemakaman Nabi saww serta tempat bekas langkah-langkah beliau, tidak layak dijadikan tempat ibadah sampai hari kiamat??!
Menghadap Kiblat Ketika Berdoa
3. Ibnu Jazrii
Ia berkata, “Salah satu tempat istijabahnya doa, adalah pekuburan orang-orang shalih.”[31]
-
Pertanyaan: apakah kalau berdoa di hadapan kubur Nabi saww harus menghadap ke arah Kiblat, dan kalau menghadap ke kuburan beliau bisa bermasalah?
Ibnu Taimiyyah, dengan menyandarkan kepada para shahabat berkata, “Kalau mereka –para shahabat- berdoa di kuburan Nabi saww, meraka tidak berdiri di depan kuburan beliau. Akan tetapi mereka mundur dari padanya dan menghadapkan diri ke arah Kiblat.”[32]
Jawaban
Pertama. Ibnu Taimiyyah tidak menyebutkan walaupun hanya satu nama saja dari shahabat yang telah melakukan hal itu, dan walaupun hanya dalam sekali perbuatan saja. Yaitu yang ketika akan berdoa di kuburan Nabi saww, mundur terlebih dahulu dan menghadapkan diri ke arah Kiblat. Terlabih lagi, apa yang telah terjadi jauh berbeda dari yang dikatakannya itu.
Ibnu ‘Umar berkata, “Salah satu kesunnahan dalam berdoa di kuburan Nabi saww adalah menghadapkan diri ke arah kubur dan membelakangi Kiblat.”[33]
Kedua. Tidak ada larangan dalam menghadap kubur ketika berdoa, karena Tuhan berfirman,
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“Kemana saja kalian berpaling, maka kalian akan mendapatkan Wajah Allah.”[34]
Ketiga. Fatwa-fatwa para ahli fikih, berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya, seperti:
1. Fatwa Maalik
Ketika Manshuur (salah satu khalifah Banii ‘Abbaas) bertanya kepada Maalik, “Kalau aku mau berdoa di kuburan Nabi saww, maka aku harus menghadap ke arah Kiblat atau ke kuburan beliau?” Maalik menjawab, “Mengapa kamu harus membelakangi Nabi saww, sementara beliau adalah perantaramu (wasilahmu) dan ayahmu Adam as –kepada Allah- sampai hari kiamat. Karena itu, menghadaplah ke kuburan Nabi saww dan mintalah syafaat dari beliau, karena Tuhan menerima syafaat beliau!”[35]
Tanya jawab di atas, merupakan dalil yang jelas terhadap suatu kenyataan bahwa berdoa di kuburan Nabi saww adalah suatu hal yang umum dan diketahui semua orang. Begitu pula bahwa kelebih afdhalannya dari tempat lain merupakan hal yang tidak ada keraguan di dalamnya. Yang tidak diketahui oleh khalifah al-Manshuur adalah, apakah berdoa menghadap ke Kiblat dan membelakangi Nabi saww memiliki pahala yang lebih besar, atau menghadap ke Nabi saww dan membelakangi Kiblat.[36]
2. Fatwa Khaffaajii
Ia berkata, “Pandangan Syaafi’ii dan umumnya ulama adalah ketika berdoa di dekat kuburan –Nabi saww- maka hendaknya menghadap ke kubur dan membelakangi Kiblat. Fatwa Abu Hanifah yang sampai ke kita, juga seperti ini.”[37]
3. Fatwa Hanafi
Kamal bin Ilhaam berkata, “Yang telah dinukilkan kepada kita tentang fatwa Abu Hanifah bahwasannya kalau berdoa –di kubur Nabi saw.- harus menghadap ke Kiblat, adalah tidak benar. Karena telah dinukilkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata, “Adalah sunnah dalam berdoa, untuk menghadap ke arah kuburan Nabi saww dan membelakangi Kiblat.” Abu Haniifah sendiri membenarkan pandangan ini. Sedang Kermaanii yang mengatakan bahwa pandangan Abu Hanifah dalam hal ini tidak seperti itu (yakni tidak menghadap ke kubur Nabi saww, penj.), adalah perkataan yang tidak benar. Sebab, Nabi saww tetap hidup dan melihat orang-orang yang menziarahi beliau seperti ketika beliau masih dalam keadaan hidup dan menerima orang yang menghadap ke beliau sementara yang datang membelakangi kiblat.”[38]
4. Ibraahiim Harbii
Ia berkata dalam kitab Manaasik-nya, “Ketika berdoa, maka hendaknya berdiri di tengah dan menghadap ke kubur –Nabi saww- serta membelakangi Kiblat.”[39]
5. Abu Musa Ishfahaanii
Telah dinukil darinya bahwa imam Maalik berkata, “Siapa yang ingin menziarahi Nabi saww, maka hendaknya ia menghadap kepada beliau dan membelakangi Kiblat, lalu mengucap salam dan berdoa.”
6. Samhuudii
Ia berkata, telah dinukil dari shahabat-shahabat Syaafi’ii dan yang lainnya bahwa mereka berkata, “Hendaknya penziatah kubur Nabi saww berdiri di samping kuburan dan menghadap ke kuburan serta membelakangi Kiblat. Pandangan ini juga merupakan fatwa Ibnu Hanbal.”[40]
7. Pandangan Sakhtiyaanii
Telah dinukil dari Abu Haniifah yang berkata, “Ayyuub Sakhtiyaani mendekati kubur Nabi saww, lalu ia membelakangi Kiblat dan menghadapkan wajahnya ke kubur seraya menangis.”[41]
8. Fatwa Ibnu Jamaa’ah
Ia berkata, “Sesuai dengan madzhab Hanafi, maka orang yang berziarah kubur –Nabi saww- harus mentawafi (mengitari) kubur hingga sampai ke hadapan beliau dan berhenti di sana. Dalam keadaan seperti itu, yakni membelakangi Kiblat, harus mengucap salam kepada beliau. Akan tetapi Kermaanii, berbeda dengan pendapat lainnya dengan berkata: ‘Hendaknya penziarah mengucap salam kepada Nabi saww dalam keadaan membelakangi kuburan.’”[42]
9. Ibnu al-Munkadir
Ibrahim bin Sa’d berkata, “Aku melihat Ibnu al-Munkadir, ketika memasuki masjid –Madinah- ia melakukan shalat. Setalah itu, ia membalikkan badan dan melangkah beberapa langkah, lalu ia menghadap ke Kiblat lagi dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa. Kemudian ia membalikkan diri dari arah Kiblat –menghadap ke kubur Nabi saww- dan tangannya diangkat seperti orang mencabut pedang dari sarungnya sambil berdoa. Perbuatan ini ia ulangi lagi ketika sedang keluar dari masjid, seperti orang yang sedang berpamitan dengan seseorang.”[43]
Keempat. Sebenarnya, apa problemnya kalau ada orang shalat di kuburan Nabi saww dengan niat tabarruk –kepada tempatnya? Bukankah orang shalat di bekas tapak kaki –berdirinya- nabi Ibrahim (maqam Ibrahim) karena meyakini bahwa bekas tapak kakinya itu memiliki kemulian dan penghormatan? Allah dalam masalah ini berfirman,
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Dan jadikanlah bekas berdirinya Ibrahim itu sebagai mushalla (tempat shalat).”[44]
Sedang perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Shalat di rumah lebih afdhal dari shalat di kuburan para nabi dan orang-orang shalih.”[45], merupakan pernyataan yang tanpa dalil. Karena tak satupun dari para salaf yang telah lalu, yang pernah mengatakan hal seperti itu. Sementara itu Ibnu Taimiyyah mendakwa bahwa semua salaf mengatakannya.
-
Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid
Riwayat-riwayat yang telah dinukilkan adalah sebagai berikut:
“Semoga Tuhan melaknat orang-orang Yahudi, karena mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.”
“Ya Allah, jangan jadikan kuburku sebagai patung[46] untuk disembah.”
“Tuhan sangat murka pada umat yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai kuburan.”
Membedah Hadits
1. Riwayat ini –yang pertama- memiliki problem dari sisi sanad atau perawi haditsnya. Karena di riwayat Nasaai ini terdapat orang yang bernama ‘Abdu al-Waarits. Ia telah dicap oleh masyarakat sebagai orang yang mempercayai kebebasan (Mu’tazilah), dan mereka tidak mau bemakmum kepadanya dalam shalat. Hammaad-pun melarang orang untuk meriwayatkan hadits darinya.[47]
Begitu pula dalam riwayat itu ada orang yang bernama Abu Shaalih. Dia itu diragukan antara orang yang tergolong Tidak Diketahui (majaahiil), Lemah atau Tsiqah. Dan sangat dimungkinkan bahwa dia itu adalah Baadzaam Maula
Ummu Haani. Kalau benar demikian, maka ia adalah Matruuk (harus ditinggalkan riwayatnya)[48], Dha’iif (lemah) atau Kadzdzaab (pembohong)[49].
Dan dalam sanad Ibnu Maajah ini juga terdapat orang yang bernama ‘Abdullah bin ‘Utsmaan[50]. Telah dikatakan mengenainya bahwa: Ia bukan orang yang qawi (tidak kuat riwayatnya). Atau dikatakan bahwa: Ia memiliki kekeliruan. Atau bahkan dikatakan bahwa: Ia Mungkaru al-hadits (diingkari haditsnya)[51].
Sedang riwayatnya Maalik di kitab al-Muwaththa’, termasuk hadits yang Mursal (terputus)[52] sebagaimana telah dikatakan oleh ‘Abdu al-Bir. Dalam hadits ini juga terdapat orang yang bernama ‘Athaa’ bin Yasaar yang sama sekali tidak pernah melihat Nabi saww. Dari sisi yang lainnya, riwayat ini tidak menjadi dalil bagi pandangan Ibnu Taimiyyah dan para Wahhabi[53]. Karena mereka dalam menggunakan hadits ini berkata, “Hukumnya shalat di kuburan dan tempat-tempat suci lainnya, begitu pula membangun masjid di tempat-tempat tersebut, adalah tidak boleh -haram.”
Padahal lahiriah dari hadits tersebut, menyinggung masalah gereja di Habasyah sebagai berikut: “Setiap orang shalih yang mati di antara mereka, maka mereka membangun masjid di kuburannya sembari meletakkan lukisan wajahnya.”
Karena itu, siapa saja yang membangun masjid di pekuburan para nabi, maka pasti akan terlaknat. Akan tetapi dari sisi melukis wajahnya di masjid tersebut sebelum kemudian menyembahnya, shalat kepadanya dan sujud ke arah kuburnya sebagaimana para penyembah berhala melakukan shalat dan sujud –di jaman jahiliyyah. Maksud larangan membangun masjid-masjid di kuburan adalah dari sisi ini (yakni dari sisi penyembahan dan sujud pada gambar atau patung atau kuburan dimana hal yang inti ini harus disertakan dalam kecaman dan pelarangan Nabi saww tersebut. Karena memang begitulah apa yang terjadi di gereja-gereja Habasyah kala itu. Jadi, kalau seseorang beribadah di kuburan, akan tetapi tidak menyembah kuburannya dan bahkan menyembah Tuhan, maka hal tersebut tidak dikecam dan tidak pula diharamkan oleh Nabi saww. Karena itu, maka dari sisi apa para Wahhabi mengambil hadits tersebut sebagai dasar dari pengharaman mereka terhadap ibadah di kuburan yang tidak menyembah kuburannya dan hanya menyembah Allah? Pentj.)
Karena itu, kalau membangun masjid di kuburan, akan tetapi shalatnya menghadap ke kiblat dan menyembah Allah, maka sudah tentu tidak masalah (tidak termasuk yang dikecam dan dilarang Nabi saww, pentj.), sebagaimana semua muslimin melakukannya selama ini, baik di masjid Nabi saww (masjid Madinah) atau kuburan-kuburan lainnya, seperti di masjid Jami’ Umawi di Damaskus (yang di dalamnya terletak kuburan Nabi Zakariyya as).
Arti Hadits
1. Qurthubi
Ia berkata, “Gambar yang dilukis di dalam masjid, pertama sekali hanyalah gambar wajah yang ditujukan supaya bisa menggambarkan orang shalih yang digambar hingga dapat mengenang perbuatan shalihnya. Tujuannya adalah supaya masyarakat yang melihatnya dapat mengenang keshalihannya dan dapat pula menirunya. Begitu pula agar dapat beribadah kepada Allah di sisi kuburannya. Akan tetapi, ketika generasi setelahnya tidak memahami tujuan pelukisan di dalam masjid itu dan dari satu sisi syaithan telah pula mempengaruhinya, maka mereka berkata: ‘Para pendahulu kita (salaf) melukis wajah orang shalih itu dengan tujuan ingin menyembah dan mengagungkannya, karena itu Nabi saww melarang perbuatan seperti ini bagi umatnya.’”[54]
2. Nawawi
Ia berkata, “Kalau tujuan pembangunan tempat ibadah di kuburan itu adalah orang yang dikuburkan di dalamnya (seperti memuliakannya), maka hukumnya adalah makruh. Tapi kalau pekuburannya adalah wakaf, maka membangunnya adalah haram. Syaafi’ii dan para pengikutnya berpendapat seperti itu. Dan mereka juga berkata bahwa membangun kuburan (seperti meninggikannya) adalah makruh.”[55]
3. Qasthilaani
Ia dalam menerangkan tentang hadits yang berbunyi, “Mereka membangun masjid di kuburannya.”, berkata, “Hadits ini adalah kecaman bagi yang membangun masjid di kuburan. Hukum yang bisa disimpulkan dari kecaman ini adalah hukum haram. Terlebih telah diiringi pula dengan laknatan sebagaimana telah diriwayatkan secara shahih. Akan tetapi Syaafi’ii dan para pengikutnya, hanya memakruhkan perbuatan seperti itu.”[56]
4. Bandiinjii
Ia berkata, “Maksud dari pada hadits tersebut adalah: Menghadapkan masjidnya kepada kuburan dan melakukan shalat di dalamnya (baca: di arah kiblatnya terdapat kuburan, penj.).”
Ia juga berkata, “Adalah makruh kalau shalat di masjid yang dibangun di dekat kuburan yang kuburannya berada di arah kiblatnya. Akan tetapi kalau membangun masjid di dalam pekuburan sendiri (tidak di dekat kuburan yang terletak di arah kiblatnya) dan shalat di dalamnya, maka hukumnya adalah mubah. Karena pekuburan dan masjid sama-sama wakaf dimana tidak ada perbedaan di dalamnya.”
5. Baidhaawi
Ia berkata, “Ketika orang Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan para nabinya arah dari sujudnya –sebagai penghormatan- dan menjadikannya kiblat bagi shalat mereka, begitu pula menjadikannya pusat mengarahkan diri mereka dalam melakukan ibadah-ibadah lainnya, dan menjadikan kuburan-kuburan itu seperti berhala, maka Nabi saww melaknati perbuatan mereka itu dan melarang muslimin untuk meniru mereka. Akan tetapi kalau membangun masjid di dekat kuburan orang shalih dan niatnya adalah untuk tabarruk kepada kuburan itu dan tidak mengagungkannya, dan begitu pula ketika shalat tidak mengarahkan perhatiannya ke kuburan, maka hal yang seperti ini tidak termasuk yang dilaknat oleh Nabi saww.”[57]
6. Sanadi
Ia berkata, “Meraka –para Yahudi dan Nasrani- menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. Yakni menjadikannya sebagai kiblat dalam shalat mereka. Atau membangun masjid di kuburan mereka dan melakukan shalat di dalamnya (dengan menghadap kepada kuburannya, pentj.). Kemungkinan dari sebab hukum kemakruhan –membangun masjid di kuburan- adalah bisa menyebabkan penyembahan pada yang dikuburkannya dimana sebab ini sangat mungkin, terutama terhadap kuburan para nabi, wali dan ulama.”[58]
7. Nawawi
Ia berkata, “Para ulama berkata, ‘Nabi saww melarang muslimin untuk membuat masjid di kubur beliau atau kubur yang lainnya, karena khawatir bahwa masyarakat akan berlebihan dalam menghormati beliau dan, apalagi kalau sampai terjadi fitnah dan kekufuran (baca: menyembah kuburan). Karena kebanyakan umat –para nabi- terdahulu telah jatuh ke dalam kesesatan ini. Ketika muslimin telah menjadi banyak, para shahabat dan taabi’iin melihat bahwa sudah merupakan keharusan untuk memperluas Majid Nabawi. Dan perluasan ini sebegitu rupa sampai-sampai meliputi rumah-rumah para istri Nabi saww dimana diantaranya terdapat juga rumah ‘Aisyah yang di dalamnya dikuburkan jasad Nabi saww, Abu Bakar dan Umar.
Karena itu, mereka membangun tembok yang tinggi dan melingkari daerah pekuburan itu agar supaya kubur-kubur tersebut tidak nampak di tengah-tengah masjid hingga bisa menyebabkan orang-orang awam shalat dengan mengahadapkan diri padanya. Kemudian mereka membangun dua tembok penjauh di arah utara kubur (lawan arah kiblat) dimana keduanya dibuat saling mencederungi dan ujungnya saling bertemu. Hal itu dibuat, agar tak seorangpun bisa melakukan shalat di sebelah utara kuburan hingga ketika menghadap ke kiblat juga menghadap ke kuburan[59]. Karena itu dalam hadits telah pula diriwayatkan bahwa kalaulah bukan karena takut menjadikan kubur Nabi saww sebagai kiblat, maka kubur beliau sudah pasti dibuat terlihat (baca: dengan lengang tanpa penghalang, pentj.) dan begitu pula tidak perlu dibuat tembok yang mengelilinginya. Semua itu dibuat, tidak lain disebabkan oleh kekhawatiran tersebut.
-
Fatwa-fatwa Para Fukaha tentang Shalat di Kuburan
1. Pandangan Imam Malik
Telah ditanyakan kepada Abu al-Qaasim, “Apakah imam Malik membolehkan shalat yang dihadapan kiblatnya ada kuburan akan tetapi dibatasi dengan kain?” Ia menjawab, “Imam Malik tidak mempermasalahkan shalat di kuburan, karena dia sendiri melakukan shalat di kuburan itu dimana di depannya, di samping kanan dan kirinya dan di belakangnya terdapat kuburan.”
Imam Malik berkata, “Tidak ada masalah melakukan shalat di kuburan.”
Ia juga berkata, “Telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian shahabat melakukan shalat di kuburan.”[60]
2. Pandangan ‘Abdu al-Ghaani al-Naablusii
Ia berkata, “Kalau membangun masjid di dekat kuburan orang shalih, atau melakukan shalat di atas kuburannya, akan tetapi dengan tujuan supaya berkah ibadahnya itu juga meliputi yang dikuburkan, begitu pula tidak dengan niat mengagungkannya –yang dikuburkan- dan tidak memfokus perhatian kepadanya –dalam shalat- maka yang demikian itu tidak memiliki masalah sedikitpun, sebagaimana shalat di kuburan Nabi Islmail as yang terletak di sebelah Ka’bah dimana memiliki kelebihan fadhilah dibanding shalat di tempat lainnya.[61]
3. Abdu al-Ghaani
Ia juga berkata, “Kalau membangun masjid di kuburan, atau kuburannya itu dibuat di tempat lalu lalangnya orang, atau seseorang duduk di kuburan tersebut, atau kuburan seorang wali dari wali-wali Tuhan (membuat masjid atau duduk), atau kuburan orang alim yang peneliti dan selalu berusaha memecahkan masalah-masalah demi mencapai ridha Tuhan, dimana semua itu dilakukan demi menghormati yang dikuburkan, atau dengan niat mengumumkan kepada masyarakat bahwa yang dikuburkan di sana adalah seorang wali hingga masyarakat bertabarruk kepadanya, atau berdoa di dekatnya hingga doanya lebih mustajab dan dikabulkan, maka hal seperti ini tidak memiliki masalah sedikitpun. Karena nilai dari perbuatan manusia itu tergantung kepada niatnya (baca: dimana jelas tidak ingin menyembah yang dikuburkan, penj.)[62]
4. Abu Malik
Ia berkata, “Barang siapa yang membangun masjid di kuburan orang shalih atau shalat di kuburannya itu, asal dengan niat bertabarruk kepadanya dan mengharapkan kemustajabahan doanya, maka hal seperti ini jelas tidak masalah. Dan dalil terhadapnya –kebolehannya- adalah kuburan Nabi Ismail as yang terletak di Masjidulharam di sebelah Kabah dimana shalat di tempat itu memiliki fadhilah yang lebih dibanding shalat di tempat lain.[63]
5. Baghwii
Ia berkata, “Sebagian ulama berkata bahwa shalat di pekuburan atau di kuburan, hukumnya adalah boleh. Hal ini jelas dengan syarat bahwa shalatnya itu dilakukan di tempat yang suci dan bersih. Umar pernah melihat Anas bin Malik shalat di kuburan. Umar berkata kepadanya, “Ini adalah kuburan, ini adalah kuburan.” Akan tetapi ia tidak berkata –kepada Anas- untuk mengulangi shalatnya.
Dan tentang Hasan al-Bashri, telah diriwayatkan mengenainya bahwa, “Ia sering melakukan shalat di pekuburan-pekuburan.”
Dan telah diriwayatkan dari Malik yang berkata, “Melakukan shalat di kuburan, adalah boleh.”
Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pelarangan shalat di beberapa tempat, seperti kamar mandi dan kuburan, karena biasanya kamar mandi itu adalah tempat berjatuhannya kotoran, sebagaimana kuburan yang merupakan tempat dimana biasanya tanahnya bercampur dengan daging dan tulang belulang manusia. Jadi, pelarangannya karena najisnya atau kotornya tempat shalat (baca: bukan karena kesyirikan). Karena itu, kalau di tempat-tempat tersebut, terdapat tempat yang bersih dan suci, maka shalat di tempat seperti itu tidak memiliki masalah.[64]
Dengan semua fatwa tentang tidak haramnya shalat di pekuburan dan tempat-tempat ziarah lainnya itu, apakah masih tersisa bagi para Wahhabi untuk tetap mensyirikkan dan mengafirkan orang-orang yang shalat di pekuburan dan tempat-tempat ziarah lainnya, dan mengatakan bahwa mereka musyrik karena telah menyembah orang-orang mati di kuburan? Sementara Anas bin Maalik dan Hasan al-Bashrii melakukan shalat di kuburan??!
----
Foot Note:
[1] Risaalatu Ziyaaratu al-Qubuur, hal. 159.
[2] Masalah ini sudah dijelasan sebelumnya (lihat jilid satu). Akan tetapi kerincian masalahnya sebagaiman berikut ini, Qaadhi (mahkamah agung) yang bernama ‘Iyaadh, telah menukil percakapan antara Manshuur Dawaaniiqii (salah satu khalifah Bani ‘Abbaas) dan Maalik bin Anas sebagai berikut: Ketika Manshuur telah memasuki makam Nabi saww, ia berbincang-bincang dengan suara tinggi. Malik bin Anas, yang merupakan ahli fikih kota Madinah pada waktu itu, menoleh kepadanya dan berkata, “Wahai amiiru al-mu’miniin, jangan tinggikan suaramu di masjid Nabi saww ini! Karena Tuhan telah memperingati sekelompok orang dengan ayatNya yang berbunyi: ‘Jangan tinggikan suaramu di atas suara Nabi!’ (QS: 49: 2). Dan begitu pula menyuruh orang-orang untuk berkata-kata dengan rendah kepada Nabi saww sesuai firmanNya yang berbunti: ‘Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa.’ (QS: 49: 3) Begitu pula, Tuhan telah mencela orang-orang yang telah berteriak dari balik pintu dan menyeru Nabi saww dengan berkata: ‘Wahai Nabi, cepatlah keluar!’ dengan firmanNya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang menyeru kamu dari balik pintu, kebanyakan mereka tidak berakal.’ (QS: 49: 4). Menghormati Nabi saww setelah wafatnya sama dengan menghormati beliau ketika hidup.”
Ketika perkataan Maalik sampai disini, Manshuur Dawaaniiqii terhentak dan berkata kepada Maalik: “Ketika aku mau berdoa, apakah aku harus menghadap ke kiblat atau ke arah kubur Nabi saww?”
Maalik menjawab, “Mengapa harus membelakangi Nabi saww (karena kalau menghadap kiblat harus membelakangi Nabi saww) sementara beliau adalah perantaramu –wasilah kepada Allah- dan perantara ayahmu Adam as sampai hari kiamat. Menghadaplah kepada makam Rasul saww karena Tuhan menerima syafaat beliau. Karena Ia telah berfirman: ‘Dan kalau mereka yang berbuat aniaya itu –melakukan dosa- datang kepadamu –Muhammad- dan meminta ampun kepada Allah, dan RasulNyapun memintakan ampunan untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapatkan Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih.’” (al-Syifaa’, jld. 2, hal. 1, dan jld. 2, hal. 206; Kasyfu al-Irtiyaab).
Kejadian ini, juga diriwayatkan dalam kitab yang lain, seperti: Al-Shaarimu al-Munakkaa, hal. 244; al-Zuwwaar, karya Ibnu Hajar dimana ia mengatakan bahwa sejarah itu adalah benar karena dinukil oleh orang-orang yang tsiqah; Shahih Bukhaari, jld. 3, hal. 33; al-Tabarruk, hal. 145.
[3] Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 574; Mustadrak Haakim, jld. 1, hal. 377; Sunanu al-Kubraa, jld. 3, hal. 131; Tamhiidu Syarh Muwaththa’ Maalik, jld. 3, hal. 234; Sunan Baihaqii, jld. 4, hal. 788.
[4] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 2, hal. 127.
[5] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 932; Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 377; Syarhu Ibni Abi al-Hadiid, jld. 5, hal. Di awal-awal abad ke dua Hijrah, telah dibangun masjid di kuburan Hamzah (seperti Masjib Madinah yang dibangun di kuburan Nabi saww dan yang masih ada sampai sekarang itu, penj.). Masjidnya ramai dikunjungi orang sampai pada masa berkuasanya Wahhabi. Karena mereka menghancurkannya. (Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 3, hal. 922.).
[6] Fathu al-Baari, jld. 7, hal. 131.
[7] Ziaaratu al-Qubuur, hal. 159.
[8] Ibnu Jazrii berkata: “Kesunnahan berdoa di kuburan para nabi dan shalih, dapat dibuktikan dengan kemustajabannya yang sudah terbukti dalam eksperimen yang banyak. Dalil ini, asal dengan syarat-syaratnya, disyahkan oleh al-Syaukaani dalam kitabnya Tuhfatu al-Dzaakirin, hal. 46. Lihat, Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 10, hal. 107.
[9] Al-Riyaadhu al-Nadhrati, jld. 2, hal. 230.
[10] Shulhu al-Ikhwaan, hal. 83; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 192; Taariikh Baghdaad, jld. 1, hal. 123; Miftaahu al-Sa’aadati, jld. 2, hal. 193.
[11] Mu’jamu al-Thabraanii, jld. 1, hal. 122; al-Ghadiir, jld. 5 , hal. 193; Taariikh Baghdaad, jld. 1, hal. 122.
[12] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 9, hal. 343.
[13] Shafwatu al-Shafwati, jld. 2, hal. 324; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 193.
[14] Thabaqaatu al-Kubraa, jld. 1, hal. 27; Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 5, hal. 232.
[15] Mustadrakaatu ‘Ilmi Rijaal, jld. 7, hal. 454; Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 9, hal. 343. Kalau keistijabahan doa di kuburan Karakhii itu benar, maka sudah pasti dikarekan kecintaannya kepada Ahlulbait dan pengabdiannya kepada Imam Ridha as. Abu ‘Abdu al-Rahmaan al-Sulami berkata, “Ia adalah penjaga keamanan Imam Ridha as.”
Al-marhum Khuuii berkata, Telah dinukil dari Syahru Zuurii yang ada di kitab Maanqibu al-Abraar bahwa: Ma’ruuf Karakhii adalah dari pencinta Imam ‘Ali bin Musa al-Ridha as. Ayah ibunya yang beragama Nashrani, telah menyerahkannya kepada seorang pendeta sewaktu masih kecil. Gurunya berkata kepada Ma’ruuf: “Katakanlah, tentang Trinitas!” Akan tetapi Ma’ruuf menjawab: “Tuhan itu hanya satu.” Karena itulah gurunya memukulinya dengan parah sekali hingga membuatnya lari dari gurunya itu dan datang kepada Imam Ridha as yang, dengan perantaraan beliau ia akhirnya masuk Islam. Setelah menjadi muslim, ia pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia mengetuk pintu. Ayahnya berkata dari dalam rumah: “Siapa yang mengetuk pintu?” Ia menjawab: “Ma’ruuh.” Ayahnya berkata: “Kamu beragama apa sekarang?” Ia menjawab: “Aku sekarang beragama Islam.” Pada akhirnya, ayahnya juga masuk Islam disebabkan Imam Ridha as.
Ma’ruuf sendiri pernah berkata: “Aku menjalani hari-hariku dengan bekerja sebagaimana biasa. Akan tetapi semua itu aku tinggalkan dan hanya mengabdi kepada tuanku imam ‘Ali bin Musa al-Ridhaa.” (Mu’jamu Rijaali al-Hadiits, jld. 18, hal. 231.)
Hal serupa dengan ini, juga dinukil oleh Ibnu Khaliqaan dan yang lainnya. Sedang Namaazii dan Dzahabii mempermasalahkan orang ini (Mustadraaku ‘Ilmi al-Rijaal, jld. 7, hal. 454; Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 9, hal. 343.)
[16] Qathfataa, adalah suatu pemukiman besar yang memiliki beberapa pasar dan terletak di arah barat Baghdaad (Mu’jamu al-Buldaan, jld. 4, hal. 374.).
[17] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 6, hal. 239.
[18] Thabaqaatu al-Qurraa’, jld. 2, hal. 97.
[19] Al-Jawaahiru al-Mudhiiah, jld. 1, hal. 461.
[20] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 202; al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, jld.1, hal. 404.
[21] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 4, hal. 272.
[22] Ibid, jld. 5, hal. 424. Sayyidah Nafiisah bintu Abu Muhammad, Hasan bin Zaid bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thaalib. Dia memasuki negara Mesir besama suaminya, Ishaaq bin Ja’far al-Shaadiq as. Ia tergolong wanita shalihah dan takwa. Telah diriwayatkan bahwa: Ketika Syaafi’ii juga pergi ke Mesir, ia bersilaturrahim kepadanya dan meriwayatkan hadits darinya. Orang-orang Mesir sangat memuliakannya. Kuburannya sampai sekarang masih ada seperti sedia kala.
Ketika Syaafi’ii wafat, jenazahnya dibawa kepadanya (karena meninggal lebih dulu dari Sayyidah Nafiisah, pentj.) dan iapun meletakkannya di rumahnya dan shalat jenazah untuk Syaafi’i.
Ia dikubur di tempat dimana ia dulu tinggal. Ia menempati tempat yang ia tinggali itu sampai wafatnya, pada tahun 260 H.. Suaminya, Ishaaq bin Ja’far al-Shaadiq as ingin membawa jenazahnya ke Madinah dan menguburkannya disana. Akan tetapi orang-orang Mesir memohon kepadanya supaya menguburkannya di Mesir saja, hingga tetap tinggal bersama mereka.
Karena itu, ia dikuburkan di tempat yang terkenal di antara makam-makam yang lain. Diterimanya doa di kuburannya, sangatlah terkenal (Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 5, hal. 424.).
Dzahabi berkata, “Ia tergolong wanita shalihah dan ahli ibadah. Bedoa di kuburannya menjadi mustajab. Bahkan berdoa di kuburan para nabi dan orang-orang shalih juga mustajab.” (Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 10, hal. 107.)
[23] Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 5, hal. 397, sub judul: Kejadian-kejadian tahun 488 Hijrah.
[24] Ibid, sub judul: Kejadian-kejadian tahun 490 Hijrah.
[25] Thabaqaatu al-Qurraa’, jld. 2, hal. 32.
[26] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 2, hal. 380.
[27] Thayyibah adalah nama kota Madinah yang menjadi tempat hijrahnya Nabi saww. (al-Mishbaahu al-Muniir, hal. 382.)
[28] Al-Khashaaishu al-Kubraa wa Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 341; al-Miizaan, jld. 13, hal. 1.
[29] Nama tunggangan Nabi saww dalam isra’ mi’raj adalah Buraaq (Mishbaahu al-Muniir, bagian kata dasar Baraqa)
[30] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 341, menukil dari kitab Zaadu al-Ma’aad.
[31] Pensyarah kitab al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, di jld. 3, hal. 406, menukil perkataan di atas dari kitab al-Hishnu al-Hashiin.
[32] Risaalatu Ziyaarati al-Qubuur, hal. 159.
[33] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 247 dan 340; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 134.
[34] QS: 2: 115.
[35] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1376; al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 409.
[36] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 135; Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 247-340; al-Syifaa-u Bita’riifi Huquuqi al-Mushthafaa, jld. 2, hal. 92.
[37] Syarhu al-Syifaa’, jld. 3, hal. 517.
[38] Ibid, hal. 317. Almarhum Amiin dalam kitabnya, Kasyfu al-Irtiyaab, menukil dari kitab al-Jauharu al-Munazhzham yang berkata:
“Dan salah satu dalil menghadap ke kubur –kala berdoa- adalah bahwa kita bersepakat bahwa Nabi saww adalah hidup di dalam kuburnya dan mengenali yang menziarahi beliau. Karena itu, sebagaimana ketika beliau hidup dimana seseorang yang datang kepada beliau pasti menghadap ke arah beliau walau dengan membelakangi Kiblat, maka demikian pula ketika seseorang menziarahi kubur mulia beliau.” (Kasyfu al-irtiyaab, hal. 260.)
[39] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 326; Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1378.
[40] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1378.
[41] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 261.
[42] Ibid, hal. 262 atau 326 (dalam cetakan yang lainnya); Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1378.
[43] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 5, hal. 358.
[44] QS: 2: 125.
[45] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1378.
[46] Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 246; al-Muwaththa’, jld. 1, hal. 172, hadits ke: 85; Shahih Bukhaarii, hal. 48, Kitab: al-Shalaat; Shahih Muslim, al-Masaajid, hal. 19; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hal. 218.
Riwayat-riwayat yang melarang membuat masjid di kuburan atau menziarahi kuburan, telah diriwayatkan melalui beberapa jalur/thariiq:
a. Nasaai meriwayatkan dari Ibnu Qutaibah dari ‘Abdu al-Waarits bin Sa’iid dari Muhammad bin Juhhaadah dari Abu Shaalih dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata bahwa Nabi saww bersabda, “Laknat Allah bagi wanita-wanita yang menziarahi kuburan, dan yang menjadikannya masjid-masjid serta meneranginya dengan lilin-lilin/lentera.”
b. Ibnu Maajah dari Azahar bin Marwaan dari ‘Abdu al-Waarits dari Muhammad bin Juhhaadah dari Abu Shaalih dari Ibnu ‘Abbaas, “Rasulullah saww melaknat wanita-wanita penziarah kubur.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dari Sufyaan dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khatsiim dari ‘Abdu al-Rahmaan bin Bahbahaanii dari ‘Abdu al-Rahmaan bin Hisaan bin Tsaabit dari ayahnya.
c. Bukhari, dalam bab: “Maa Yukrahu Min Ittikhaadi al-Masaajidi ‘Ala al-Qubuur”, meriwayatkan bahwa: Ketika Hasan bin Hasan bin ‘Ali meninggal dunia, istrinya membuat kubah di kuburannya. Setelah setahun, kubah itu dirusaknya. ‘Aisyah berkata: Nabi saww bersabda: “Tuhan melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena membuat kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” Dan ia –‘Aisyah- juga berkata: “Kalau bukan karena ditakutkan bahwa kuburnya akan dijadikan masjid, maka orang-orang akan menjadikan kuburnya menonjol (seperti diberi kubah). Akan tetapi aku takut akan hal itu.”
d. Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Nabi saww: “Berhati-hatilah, karena umat sebelum kalian telah menjadikan kubur-kubur pada nabi dan orang-orang shalih dari mereka sebagai masjid. Karena itu jangan sekali-kali kalian membuat kuburan sebagai masjid. Aku melarang kalian melakukan hal itu.”
e. Bukhaari meriwayatkan: Ummu Salamah dan Ummu Habiibah (keduanya istri Nabi saww) yang telah berhijrah ke negeri Habasyah, berkata: “Kami di Habasyah melihat gereja yang diberi nama Maria.” Setelah itu mereka menceritakan keindahan gereja itu yang dihiasi dengan lukisan dan ukiran-ukiran. Nabi saww –yang mendengar hal itu- bersabda: “Mereka adalah suatu kaum yang kalau orang shalihnya meninggal dunia, mereka menjadikan kuburannya sebagai masjid dan meletakkan lukisannya. Mereka itu adalah seburuk-buruk umat di sisi Tuhan.”
Muslim dan Nasaai, meriwayatkan juga hadits ini, dan menambahkan: “di hari kiamat.” Yakni : “…. seburuk-buruk umat di sisi Tuhan di hari kiamat.” (lihat Shahih Muslim, jld. 2, hal. 68; jld. 2, hal. 66, Kitab: al-Masaajid; Shahih Bukhari, Kitab: al-Janaaiz, jld. 2, hal. 111; Sunan Nasaai, jld. 2, hal. 781, Kitab: al-Janaaiz.)
[47] Mizaanu al-I’tidaal, jld. 2, hal. 677.
[48] Matruuk, adalah hadits yang di deretan perawinya, terdapat pendusta. Selain itu, haditsnya juga menyimpang dari kaidah.
[49] Mizaanu al-I’tidaal, jld. 4, hal. 538.
[50] Ibid, jld. 2, hal. 459; al-Kaamil Fi al-Dhu’afaa’, jld. 4, hal. 161. Nasaai berkata mengenainya: “Dia tidak kuat.” Ibnu Habbaan berkata: “Dia melakukan kekeliruan.” Ibnu Mu’iin berkata: “Hadits-haditsnya tidak kuat.” ‘Ali bin al-Madiinii berkata: “ditolak/diingkari haditsnya.”
Semua ini, ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya, Tahdziibu al-Tahdziib. Lihat Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 331.
[51] Hadits Mungkar (ditolak) memiliki beberapa makna. Diantaranya adalah hadits yang dinukil oleh orang yang tidak tsiqah. Lawan dari hadits Mungkar ini adalah hadits Terkenal dimana maknanya sangat dikenali di antara para perawi hadits. Salah satu dari makna hadits Mungkar adalah Marduud (ditolak).
[52] Mursal adalah hadits yang perawi terakhirnya, yaitu yang meriwayatkan langsung dari Nabi saww atau Imam Maksum Ahlulbait, tidak pernah berjumpa dengan Nabi saww atau dengan Imam Maksum Ahlulbait.
[53] Hukum pengharaman dari Ibnu Taimiyyah terhadap suatu amal atau perbuatan yang dilakukan di pekuburan, adalah dari karangannya sendiri. Karena ayat dan riwayat, telah banyak menjelaskan tentang masjid dimana tidak ada satupun hal yang seperti dikatakannya ini (yakni yang mengharamkan iabadah di kuburan). Perkataan Ibnu Taimiyyah ini muncul karena kebenciannya terhadap orang Syi’ah dan pencinta Ahlulbait yang suci. Sampai-sampai kebenciannya itu dituangkan dalam kitab –dimana dalam kibta itu berusaha mengingkari fadhilah Imam Ali as.. Orang ini –Ibnu Taimiyyah- sebegitu beraninya, hingga mengingkari hadits Nabi saww di hari perang Khandaq yang bersabda, “Tebasan pedang Ali di perang Khandaq –atas Ibnu Wud- lebih adhal dari ibadahnya jin dan manusia.” Sementara hadits ini bukan hanya shahih, tapi bahkan mutawatir. Dalam kitabnya –Ibnu Taimiyyah- yang berjudul Minhaaju al-Sunnah, ia berkata: “Orang-orang Raafidhah (Syi’ah) telah merubah agama Allah. Karena itu mereka membangun pekuburan, meninggalkan masjid-masjid, menyerupai orang kafir dan membedakan diri dari orang mukmin.”
Memanglah demikian, ketika seseorang berani berijtihad di hadapan nash (al-Quran dan hadits) dan tidak memiliki akhlak yang baik, maka perkataan sesat seperti ini, sangat mungkin diucapkannya. Almarhum Sayyid Syarafuddin al-‘Aamili, dalam kitabnya yang sangat berharga, al-Nashshu wa al-Ijtihaad, menukilkan lebih dari tujuh puluh ijtihad di hadapan nash (baca: menentang al-Quran dan hadits) dimana sebagiannya dilakukan oleh shahabat-shahabat Nabi saww dan sebagian lainnya oleh selain mereka. Mereka semua mengedepankan kemashlahatan (diri atau sosial-politik yang juga kembali pada diri sendiri, pentj.) dari pada Nash (al-Quran dan hadits), mengutamakan kecenderungan dan kepentingan diri sendiri dari pada mengikuti wahyu Tuhan. Ibnu Taimiyyah bukan orang pertama dari yang melakukan hal tersebut.
[54] Irsyaadu al-Saarii, jld. 3, hal. 497 dan jld. 2, hal. 99; lihat juga Shahih Muslim, jld. 1, hal. 197.
[55] Syarhu Shahih Muslim, jld. 3, hal. 62. Ibnu Raf’ah berkata: “Membangun kuburan para nabi telah dikecualikan dari hukum itu, karenanya tidak makruh membangun kuburan para nabi. Karena Allah telah mengharamkan badan para nabi bagi tanah. Mereka adalah hidup di dalam kuburan mereka dan melakukan shalat dan lain-lainnya.”
Ia juga berkata, “Adalah haram kalau ketika shalat, di depannya ada kuburan, tapi makruh kalau di depannya ada orang yang masih hidup. Karena hati orang yang shalat tidak bisa konsen kepada shalatnya. Dan semua hukum yang telah dikatakan terhadap kubur Nabi saww, maka ia juga berlaku bagi semua kuburan.” (Irsyaadu al-Saarii, jld. 2, hal. 97.)
[56] Irsyaadu al-Saarii, jld. 7, hal. 462 dan jld. 9, hal. 477.
[57] Ibid, jld. 3, hal. 479.
[58] Sunan al-Nasaai, jld. 4, hal. 96.
[59] Syarhu al-Nawawi (syarahan terhadap Shahih Muslim), jld. 5, hal. 14.
[60] Al-Mudawwanatu al-Kubraa, jld. 1, hal. 90.
[61] Al-Hadiiqatu al-Nadiyyatu, jld. 2, hal. 631.
[62] Ibid, hal. 630.
[63] Al-Maqaalaat karya al-Kautsarii, hal. 246; Syarhu S
-----
SukaSuka ·  ·