Ahad, 24 April 2016

Dahi hitam

DAHI HITAM
Hitam di Dahi Perlu Diwaspadai Kerana Tanda Ahlu Riya' dan Khawarijj
Hitam di Dahi Perlu Diwaspadai Kerana Tanda Ahlu Riya' dan Khawarijj
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dalam versi lain nabi mendatangi para sahabatnya di dalam mesjid, wahai Abu Bakar maukah kamu membunuh orang yang sedang sholat itu ?abu bakar menjawab =tidak mampu, Rasul mendatangi Umar, Usman, Ali dan meminta mereka membunuh orang yang sedang sholat tersebut, tetapi tidak ada yang mampu dan mau melakukannya...
Lalu nabi berkata, karena kalian tidak tega membunuh orang tersebut maka sepeninggalku umatku akan terpecah belah karena mereka, orang tersebut ada tanda hitam di dahinya berbentuk bulatan seperti telur..
Mereka adalah orang yang munafik dan hanya pamer dalam beribadah..., Merasa paling hebat ibadahnya,.
(Dari Anas berkata )
Ada seorang lelaki pada zaman Rasulullah berperang bersama Rasulullah dan apabila kembali (dari peperangan) segera turun dari kenderaannya dan berjalan menuju masjid nabi melakukan shalat dalam waktu yang lama sehingga kami semua terpesona dengan shalatnya sebab kami merasa shalatnya tersebut melebihi shalat kami, dan dalam riwayat lain disebutkan kami para sahabat merasa ta’ajub dengan ibadahnya dan kesungguhannya dalam ibadah, maka kami ceritakan dan sebutkan namanya kepada Rasulullah, tetapi rasulullah tidak mengetahuinya, dan kami sifatkan dengan sifat-sifatnya, Rasulullah juga tidak mengetahuinya, dan tatkala kami sednag menceritakannya lelaki itu muncul dan kami berkata kepada Rasulullah: Inilah orangnya ya Rasulullah.
Rasulullah bersabda : ”Sesungguhnya kamu menceritakan kepadaku seseorang yang diwajahnya ada tanduk syetan. Maka datanglah orang tadi berdiri di hadapan sahabat tanpa memberi salam. Kemudian Rasulullah bertanya kepada orang tersebut : ” Aku bertanya kepadamu, apakah engkau merasa bahwa tidak ada orang yang lebih baik daripadamu sewaktu engkau berada dalam suatu majlis. ” Orang itu menjawab: Benar”. Kemudian dia segera masuk ke dalam masjid dan melakukan shalat dan dalam riwayat kemudian dia menuju tepi masjid melakukan shalat, maka berkata Rasulullah: ”Siapakah yang akan dapat membunuh orang tersebut ? ”.
Abubakar segera berdiri menuju kepada orang tersebut, dan tak lama kembali. Rasul bertanya : Sudahkah engkau bunuh orang tersebut? Abubakar menjawab : ”Saya tidak dapat membunuhnya sebab dia sedang bersujud ”.
Rasul bertanya lagi : ”Siapakah yang akan membunuhnya lagi? ”. Umar bin Khattab berdiri menuju orang tersebut dan tak lama kembali lagi. Rasul berkata: ”Sudahkah engkau membunuhnya ?
Umar menjawab: ”Bagaimana mungkin saya membunuhnya sedangkan dia sedang sujud”. Rasul berkata lagi ; Siapa yang dapat membunuhnya ?”.
Ali segera berdiri menuju ke tempat orang tersebut, tetapi orang terebut sudah tidak ada ditempat shalatnya, dan dia kembali ke tempat nabi. Rasul bertanya: Sudahkah engkau membunuhnya ? Ali menjawab: ”Saya tidak menjumpainya di tempat shalat dan tidak tahu dimana dia berada.
” Rasulullah saw melanjutkan: ”Sesungungguhnya ini adalah tanduk pertama yang keluar dari umatku, seandainya engkau membunuhnya, maka tidaklah umatku akan berpecah. Sesungguhnya Bani Israel berpecah menjadi 71 kelompok, dan umat ini akan terpecah menjadi 72 kelompok, seluruhnya di dalam neraka kecuali satu kelompok ”. Sahabat bertanya : ” Wahai nabi Allah, kelompk manakah yang satu itu?
Rasulullah menjawab : ”Al Jamaah"tidak ada satupun mereka yang memiliki tanda hitam di dahinya..wallahualam. ...stempel hitam di dahi berupa bulatan adalah ciri khawariz,.Khawarij adalah anjing-anjing neraka.
(HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
(Hadis dalam kitab al-Ghazali)
suatu hari sahabat nabi bertanya kepada nabi,ya nabi si fulan itu di dahinya ada tanda hitam seperti telur,ada yang 1 dan 2 sampai banyak,apakah itu tanda dari bekas sujud karena dia ahli ibadah..lalu nabi menjawab itu bukan tanda yg bagus karena itu Ahlurriyak naudhu billahi min dhalik ...
1. Ibnu ‘Umar berkata : “Sesungguhnya rupa seorang itu ada di wajahnya. Maka, janganlah salah seorang di antara kalian memburukkan rupanya” (HR. Abi Syaibah 1/308).
2. Abu Darda a, diriwayatkan bahwa beliau melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (HR. Bahaqi : 3700).
3. As Saib bin Yazid, a,, ,,,,,,,Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah, aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku.” (HR. Baihaqi : 3701).
4. Mujahid t,,, ,,dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah ? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.” (HR. Baihaqi: 3702).
5. Ahmad ash Showi t ia mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (ahli bid’ah).” (Hasyiah ash Shawi, 4/134).Dahi

Selasa, 12 April 2016

Manusia biasa

Berlebih-lebihan Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hingga Mengangkat Beliau pada Derajat Ketuhanan

 Kategori: Aqidah  Klik: 40005

عن ابن عباس سمع عمر رضي الله عنه يقول على المنبر سمعت النبي  صلى الله عليه وسلم  يقول لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله

Dari Ibnu Abbas, dia mendengat Umar berkata di atas mimbar, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam, sesunggunhya aku hanyalah seorang hamba Allah maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya” HR Al-Bukhari no 3445, 6830

Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah” menunjukan bahwa beliau hanyalah manusia biasa, demikian juga para nabi yang lain. Oleh karena itu para nabi makan, minum, beristri, memiliki keturunan, mereka juga ditimpa dengan penyakit, mereka meninggal, bahkan ada di antara mereka yang dibunuh.

·         Dalil-dalil yang menunjukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia sangat banyak, di antaranya:

(ُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ﴾ (الكهف: من الآية110)

Katakanlah:"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…”
 (QS 18:110).

(قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولاً﴾ (الاسراء:93)

Katakanlah:"Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul" (QS. 17:93).

Kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa dia adalah seorang manusia biasa seperti mereka
(وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً﴾ (الفرقان:7)

Dan mereka berkata:"Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia, 
(QS. 25:7)

Berkata Ibnu Katsir, “Allah mengabarkan tentang keras kepalanya orang-orang kafir dan pembangkangan mereka serta pendustaan mereka terhadap kebenaran tanpa hujjah dan dalil dari mereka. Mereka hanya bisa beralasan (untuk mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan perkataan mereka, “Mengapa ada Rasul yang makan makanan sebagaimana kami juga memakan makanan dan ia membutuhkan makanan sebagaimana kami, dan ia berjalan di pasar yaitu dia bolak-balik ke pasar dalam rangka mencari penghasilan dan untuk berdagang” Ayat ini jelas menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti manusia yang lainnya, tidak sebagaimana perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terang mengeluarkan cahaya sehingga beliau tidak memiliki bayangan karena cahaya matahari terpantul terkena cahaya tubuh beliau. Bantahan akan hal ini sebagai berikut:

-          Kalau seandainya demikian tentunya orang-orang kafir akan langsung beriman karena melihat cahaya tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah manusia biasa. Namun kenyataannya mereka mendustakan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada bedanya dengan mereka sama-sama manusia, sebagaimana hal ini juga dikatakan kepada nabi-nabi terdahulu
(قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ)

”Mereka menjawab:"Kalian tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kalian tidak lain hanyalah para pendusta belaka". 
(QS. 36:15)

-          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di payungi tatkala melempar jumroh Aqobah

عن يحيى بن الحصين عن أم الحصين جدته قالت حججت مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  حجة الوداع فرأيت أسامة وبلالا وأحدهما آخذ بخطام ناقة النبي  صلى الله عليه وسلم  والآخر رافع ثوبه يستره من الحر (و في رواية: من الشمس) حتى رمى جمرة العقبة

Dari Yahya bin Al-Hushoin dari nenek beliau Ummul Hushoin, ia berkata, “Aku berhaji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu haji wada’ maka aku melihat Usamah dan Bilal, salah satu dari mereka berdua memegang kendali unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengangkat bajunya menutupi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena panas (dalam riwayat yang lain[1] : karena matahari) hingga Nabi selesai melempar jumroh Aqobah”[2]

Kalau memang tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercahaya sehingga cahaya matahari terpantul dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki bayangan tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk dipayungi karena ia tidak akan merasa kepanasan karena terik matahari.

-          Kisah ‘Aisyah yang berbaring di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau sholat.

عن عائشة زوج النبي  صلى الله عليه وسلم  أنها قالت كنت أنام بين يدي رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ورجلاي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي فإذا قام بسطتهما قالت والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح

Dari ‘Aisyah Istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di kiblatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu ditempat sujud beliau). Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud maka beliau memegangku maka akupun melipat kedua kakiku, dan jika ia telah berdiri maka aku kembali menjulurkan kedua kakiku”. Aisyah berkata, “Pada waktu itu rumah-rumah belum ada lampunya”[3]

Berkata Imam An-Nawawi mengomentari perkataan Aisyah “Pada waktu itu rumah-rumah belum ada lampunya”, “Aisyah menyampaikan alasannya, ia berkata “Seandainya jika di rumah-rumah ada lampunya maka aku sudah melipat kedua kakiku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak sujud sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk menyentuhku (mengisyaratkan kepadaku bahwa ia ingin sujud)”[4]. Hadits ini jelas sekali menunjukkan bahwa tubuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeluarkan cahaya, karena kalau mengeluarkan cahaya tentunya ‘Aisyah tidak butuh lagi terhadap lampu.

(وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيراً﴾ (الفرقان:20)

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi yang lain. Sanggupkah kamu bersabar Dan Rabbmu Maha Melihat”.
 (QS. 25:20)

(وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً ﴾(الرعد:38)

”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”.
 (QS. 13:38)

(إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ﴾ (الزمر:30)

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”.
 (QS. 39:30)

( وَقَتْلَهُمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ﴾ (آل عمران: من الآية181) ﴿ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ﴾ (النساء: من الآية155)

“…dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar..” 
(QS 3:181, 4:155)


·    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu goib (kecuali sebagian ilmu goib yang Allah kabarkan kepadanya), diantara dalil-dalil akan hal ini:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah:"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. 27:65)

(إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾ (لقمان:34)

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
 (QS. 31:34)

عن الرُّبَيِّعِ بنت مُعَوِّذٍ قالت دخل علي النبي  صلى الله عليه وسلم  غداةَ بُنِيَ عَلَيَّ فجلس على فراشي كمَجْلََِسِك مني وجُوَيْرِيَات يضربن بالدف يندُبْنَ من قتل من آبائهن يوم بدر حتى قالت جارية وفينا نبي يعلم ما في غد فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  لا تقولي هكذا وقولي ما كنت تقولين

Dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku di pagi hari dimana aku diserahkan[5] kepada suamiku, lalu ia duduk di tempat tidurku ini sebagaimana engkau (Kholid bin Dzakwan)[6] duduk dihadapanku sekarang, dan anak-anak wanita kecil sedang menandungkan sya’ir-sya’ir yang berisi pujian-pujian terhadap bapak-bapak mereka yang meninggal pada waktu perang Badar hingga ada salah seorang anak yang berkata, “Dan bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada anak itu, “Janganlah engkau berucap demikian, ucapkanlah apa yang tadi telah engkau ucapkan (yaitu sya’ir-sya’ir yang berisi puji-pujian)”[7]

(قُُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188)

Katakanlah:"Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 7:188)

Oleh karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang maka beliaupun ditimpa dengan kemudhorotan. Di antaranya beliau memakan kambing yang merupakan hadiah dari seorang wanita yahudi yang diberi racun.

أن يهودية من أهل خيبر سمت شاة مصلية ثم أهدتها لرسول الله  صلى الله عليه وسلم  فأخذ رسول الله  صلى الله عليه وسلم  الذراع فأكل منها وأكل رهط من أصحابه معه ثم قال لهم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ارفعوا أيديكم وأرسل رسول الله  صلى الله عليه وسلم  إلى اليهودية فدعاها فقال لها أسممت هذه الشاة قالت اليهودية من أخبرك قال أخبرتني هذه في يدي للذراع قالت نعم قال فما أردت إلى ذلك قالت قلت إن كان نبيا فلن يضره وإن لم يكن استرحنا منه فعفا عنها رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ولم يعاقبها وتوفي بعض أصحابه الذين أكلوا من الشاة وأحتجم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  على كاهله من أجل الذي أكل من الشاة حجمه أبو هند بالقرن والشفرة وهو مولى لبني بياضة من الأنصار

Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya ada seorang wanita yahudi dari penduduk Khaibar meletakkan racun pada kambing pangang kemudian menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil paha kambing tersebut dan memakannya. Sekelompok sahabat (kurang dari 10 orang) ikut memakan kambing beracun tersebut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian (tatkala sedang makan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, “Angkat tangan-tangan kalian (yaitu berhenti makan)!”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada wanita yahudi tersebut untuk memanggilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada wanita itu, “Apakah engkau meletakkan racun pada kambing ini?”, wanita tersebut berkata, “Siapakah yang mengabarkanmu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Paha kambing ini yang mengabarkan aku”. Wanita itu berkata, “Iya (akulah meletakkan racun)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang engkau kehendaki?”, wanita itu berkata, “Aku berkata seandainya orang ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah seorang Nabi maka racun ini tidak akan membahayakannya, dan jika ia bukan seorang nabi maka kami akan beristirahat darinya (karena akan mati setelah teracuni)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan wanita tersebut dan tidak menghukumnya. Sebagian sahabat yang ikut memakan kambing beracun itu meninggal. Aku membekam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian atas punggung beliau karena racun yang dimakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan Abu Hind (seorang budak milik bani Bayadhoh dari kaum Ansor) membekam Rasulullah di tempat yang bernama Al-Qorn dengan menggunakan pisau yang lebar”[8]

‘Ikrimah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan ia dalam keadaan muhrim karena memakan kambing beracun yang berasal dari seorang wanita. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih terus merasakan sakitnya” As-Sunan Al-Kubro 4/377

Hadits ini jelas menunjukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan besok hari bahkan satu detik di masa depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu apa yang akan terjadi. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu mestinya dia tidak akan memasukkan secuil dagingpun dalam mulut beliau, apalagi sampai membiarkan sebagian para sahabatnya meninggal karena memakan kambing beracun tersebut.

Contoh yang lain adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka tatkala perang Uhud.

عن سهل قال لما كسرت بيضة النبي  صلى الله عليه وسلم  على رأسه وأدمي وجهه وكسرت رباعيته وكان علي يختلف بالماء في المجن وكانت فاطمة تغسله فلما رأت الدم يزيد على الماء كثرة عمدت إلى حصير فأحرقتها وألصقتها على جرحه فرقأ الدم

Dari Sahl –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Tatkala pecah pelindung kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajah beliau berdarah dan pecah gigi seri beliau Ali bolak-balik mengambil air dengan menggunakan perisai (sebagai wadah air) dan Fatimah mencuci darah yang ada di wajah beliau. Tatkala Fatimah melihat darah semakin banyak lebih daripada airnya maka Fatimahpun mengambil hasir (yaitu tikar yang terbuat dari daun) lalu diapun merobeknya dan menempelkan robekan tersebut pada luka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berhentilah aliran darar” HR Al-Bukhari no 2903

Kalau memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ilmu goib tentunya ia tidak akan terluka demikian parahnya apalagi sampai banyak dari para sahabat yang terbunuh tatkala perang Uhud, karena kalau ia tahu ilmu goib maka ia akan mengetahui siasat apa yang digunakan oleh orang-orang musyrik tatkala perang.

Contoh yang lain tatkala Aisyah kehilangan kalungnya tatkala itu ia sedang dalam perjalanan di malam hari bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (termasuk ayahnya Abu Bakar As-Siddiq). Mereka saat itu tidak memiliki air yang cukup untuk berwudlu kemudian perjalanan terhenti (atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) demi untuk mencari kalung Aisyah yang hilang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebagian para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang mendatangi Abu Bakar mengeluh atas apa yang terjadi gara-gara Aisyah. Abu Bakarpun mencela Aisyah. Hingga tatkala subuh hari dan tiba waktu sholat mereka mencari air untuk berwudlu namun mereka tidak mendapatkan air maka turunlah ayat tentang bolehnya tayammum. Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 334

Renungkanlah…jangankan apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan apa yang terjadi di masa yang di alami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau juga tidak tahu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu dimana kalung Aisyah yang hilang, bahkan beliau memerintahkan para sahabat untuk mencari kalung tersebut. Kalau beliau mengetahui dimana letak barang hilang (sebagaimana pengakuan sebagian orang-orang yang mengaku-ngaku diri mereka adalah wali) tentunya beliau tidak perlu repot-repot semalaman mencari kalung hilang tersebut.

Contoh yang lain, kisah tentang tuduhan terhadap Aisyah bahwa ia telah berbuat serong bersama Sofwan bin Al-Mu’aththil As-Sulami. Kemudian tersebar berita ini di kota Madinah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui hakekat kejadian yang sebenarnya. Beliaupun tidak meminta kepada jin untuk mencari berita. Hingga akhirnya Allah yang memberitahu beliau bahwa berita tersebut tidak benar. Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 4141

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني لم أومر أن أنقب قلوب الناس ولا أشق بطونهم

“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk memeriksa isi hati manusia dan membelah perut mereka”
 HR Al-Bukhari no 4351

عن أسامة قال بعثنا رسول الله  صلى الله عليه وسلم  في سرية فصبحنا الحرقات من جهينة فأدركت رجلا فقال لا إله إلا الله فطعنته فوقع في نفسي من ذلك فذكرته للنبي  صلى الله عليه وسلم  فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أقال لا إله إلا الله وقتلته قال قلت يا رسول الله إنما قالها خوفا من السلاح قال أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا فما زال يكررها علي حتى تمنيت أني أسلمت يومئذ

Dari Usamah bin Zaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kamipun menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah, maka akupun berhadapan dengan seseorang (tatkala dia telah kalah dan akan aku bunuh) dia mengucapkan la ilaha illallah, akupun tetap menikamnya. Namun setelah itu aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap membunuhnya??”. Aku berkata, “Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedangku!”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau tidak!?”. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ngulang perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” HR Muslim 1/96

Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah berkata, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya…” maknanya “Sesungguhnya engkau (wahai Usamah) jika engkau tidak mampu untuk melakukannya maka cukuplah engkau menilai perkataannya” Fathul Bari 12/243

Kisah Usamah ini jelas sekali bahwa para sahabat juga tidak mengetahui hati manusia, karena isi hati manusia adalah termasuk perkara yang ghoib. Oleh karena itu para sahabat tidak mengetahui orang-orang munafik yang menyembunyikan kekafirannya dalam dada mereka.

عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  قال إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض فمن قضيت له بحق أخيه شيئا بقوله فإنما أقطع له قطعة من النار فلا يأخذها

Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku, dan bisa jadi sebagian kalian lebih pandai mengungkapkan hujjahnya (argumennya) daripada yang lain. Barangsiapa yang aku memutuskan hukum dengan memberikan sesuatu dari hak milik saudaranya baginya karena kepandaian berbicaranya maka sesungguhnya aku telah memberikannya sebuah bongkahan api maka janganlah ia mengambilnya” HR Al-Bukhari no 2680

Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui isi hati manusia, karena kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya tentu ia tidak akan tertipu dengan kepandaian berbicara seseorang yang berdusta.

Dan masih banyak lagi contoh yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui ilmu ghoib.

Tidak sebagaimana kumpulan syair (yang bernama Burdah) yang dibuat oleh Al-Bushiri yang terlalu belebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga akhirnya malah terjatuh dalam kesyirikan. Al-Bushiri berkata dalam syairnya menyeru kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فإن من جودك الدنيا وضرَّتَها             ومن علومك علمَ اللوح والقلم

Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena (yang mencatat di lauhil mahfuz apa yang akan terjadi hingga hari kiamat)

Hal ini jelas merupakan kesyirikan dan menyamakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah. Karena hanya Allahlah yang mengetahui ilmu lauhil mahfuz, pengucap syair ini telah mengangkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada derajat ketuhanan dan ini merupakan kekufuran yang nyata.

Berkata Syaikh Utsaimin, “Ibnu Rojab berkata, “Sesungguhnya penyair ini tidak meninggalkan sesuatupun milik Allah, jika dunia dan seisinya serta akhirat adalah merupakan bagian dari kedermawanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mana bagian Allah?”. Kita bersaksi bahwa orang yang mengucapkan perkataan ini ia tidak bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah, bahkan ia bersaksi bahwa Muhammad lebih tinggi dari Allah, bagaimana ia bisa sampai berlebih-lebihan begini??. Sikap berlebih-lebihan ini lebih parah dari apa yang dilakukan oleh Kaum Nashrani yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah dan Allah adalah salah satu dari Tuhan yang tiga”[9]


·    Nabi tidak bisa memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan tidak bisa mencegah kemudhorotan dari dirinya sendiri


Allah berfirman:

(قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرّاً وَلا نَفْعاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ﴾ (يونس:49)

Katakanlah:"Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah”(QS. 10:49)

(قُُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188)

Katakanlah:"Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 7:188)

Dua ayat di atas jelas sekali menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak bisa mencegah datangnya mudhorot kepadanya karena yang menguasai itu semua hanyalah Allah

أن أبا هريرة رضي الله عنه قال قام رسول الله  صلى الله عليه وسلم  حين أنزل الله عز وجل ﴿وأنذر عشيرتك الأقربين﴾  قال يا معشر قريش -أو كلمة نحوها- اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Tatkala Allah menurunkan ayat﴿وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ﴾  “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”, (QS. 26:214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum Quraisy – atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian sama sekali. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian. Wahai Abbas bin Abdilmuttholib, aku tidak bisa menolongmu sama sekali. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu” HR Al-Bukhari no 4771

Bahkan orang-orang terdekat dari kerabat karib beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bisa mengatakan “Selamatkan jiwa kalian masing-masing sesungguhnya aku sama sekali tidak bisa menolong kalian” Berkata Syaikh Sulaiman bin Abdillah “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi dirinya dan tidak (pula) menolak kemudharatan dari dirinya  dan tidak mampu mencegah adzab Allah yang akan menimpanya jika ia bermaksiat kepada Allah sebagaimana firman Allah

(قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ﴾ (الأنعام:15) (الزمر:13 )

Katakanlah:"Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku” (QS. 6:15) (QS 39:13)

maka bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan kemanfaatan kepada selainnya dan menolak kemudharatan dari orang lain?, atau mencegah adzab Allah dari orang lain?. Adapun syafaat beliau kepada sebagian para pelaku maksiat (kelak di hari akhirat) adalah atas karunia yang bersumber dari Allah bagi beliau dan bagi para pelaku maksiat tersebut, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi syafaat kepada siapa saja yang ia kehendaki dan memasukkan ke surga siapa yang dia kehendaki!!”[10]

Oleh karena itu hanyalah kepada Allah karena Dialah satu-satunya yang menguasai kemanfaatan dan kemudharatan. Tidak sebagaimana perkataan Al-Bushiri dalam bait-bait syair “Burdah”nya menyeru kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

يا أكرمَ الخلْقِ ما لِي مَنْ أَلُوْذُ به         سِواكَ عند حلولِ الحادثِ العَمَم

إن لم تكن في مَعَادِي آخذًا بِيَدِيْ             فضلا وإلا فَقُلْ يا زَلَّةَ القَدَمِ

Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh

Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan)

Perkataan ini jelas merupakan kesyirikan kepada Allah.[11]

Berkata Syaikh Sulaiman, “Sungguh menakjubkan syaitan menghiasi kekufuran dan kesyirikan ini sehingga nampak pada mereka merupakan bentuk cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengagungan kepadanya dan meneladaninya. Demikanlah pekerjaan syaitan yang terlaknat, dia pasti mencampurkan kebatilan dengan kebenaran agar bisa laris kekufuran dan kesyirikan tersebut…”[12]

Bahkan bait-bait ini tidak boleh dibaca sembarangan, namun harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti, harus berwudlu[13], menghadap kiblat, dan yang membacanya harus mengerti apa isi bait-bait tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah buat-buatanya orang-orang sufi yang ingin agar mereka saja yang bisa membaca bait-bait tersebut dengan benar. Apalagi telah nampak sebuah kelompok khusus yang dikenal sebagai pembaca burdah, sehingga sering dipanggil untuk membaca bait-bait burdah ini pada acara-acara selamatan, syukuran, ataupun acara kematian[14]

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan, “Al-Bushiri mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkara-perkara yang membuatnya marah dan sedih. Kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuncak hanya karena perkara yang dibawah (lebih ringan) dari apa yang dikatakan oleh Al-Bushiri sebagaimana diketahui orang-orang yang berilmu…”[15]

Imam As-Syaukani berkata, “Lihatlah bagiamana ia (Al-Bushiri) menafikan semua tempat berlindung kecuali hamba Allah dan Rasul-Nya dan melupakan Tuhannya sendiri dan Tuhannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”[16]

Berkata Syaikh Utsaimin, “Sikap berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkan kepada pemyembahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kenyataan yang terjadi sekarang. Ada orang yang berdoa meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah di sisi kuburan beliau dengan berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah kami, Wahai Rasulullah pertolonganmu, Siramilah kami dengan hujan, wahai Rasulullah negeri kami kering, musim kemarau…” dan demikianlah doa-doa mereka. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seseorang berdoa kepada Allah dibawah mizab ka’bah[17] dengan membelakangi ka’bah dan menghadap ke Madinah karena menurut dia menghadap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dan lebih afdhol dibanding menghadap kiblat. Na’udzubillah.

Sebagian mereka berkata, “Ka’bah lebih afdhol daripada hujroh[18], namun jika Nabi berada dalam hujroh tersebut maka demi Allah ka’bah sama sekali tidak lebih afdhol daripada hujroh, tidak cuma ka’bah bahkan ‘Arsy dan para malaikat yang mengangkat ‘Arsy, tidak juga surga”. Ini merupakan sikap berlebih-lebihan yang tidak diridhoi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kita dan juga bagi dirinya. Yang benar memang jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih afdhol, adapun perkataan hujroh lebih afdhol daripada ka’bah, Arsy, dan surga karena Rasulullah ÷ berada di dalamnya adalah kesalahan yang sangat besar. Semoga Allah menyelamatkan kita dari hal ini” Al-Qoul Mufid 1/372

Firanda Andirja
www.firanda.com

Catatan Kaki:
[1] HR Muslim 312

[2] HR Muslim 311, Ahmad (6/402)

[3] HR Al-Bukhari no 382, Muslim 262

[4] Al-Minhaj 4/453, Perkataan Aisyah ini menunjukan bahwa beliau tatkala itu tidak tidur pulas, karena jika tidurnya pulas maka ia tidak akan bisa merasakan apa-apa sama saja jika ada lampu di rumah atau tidak ada lampunya (lihat Umdatul Qori 4/114)

[5] Yaitu tinggal bersama suaminya setelah sebelumnya masih bersama walinya. Karena terkadang terjadi pernikahan namun sang istri belum langsung tinggal bersama sang suami, sebagaimana pernikahan Aisyah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[6] Yaitu perawi hadits yang meriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz

[7] HR Al-Bukhari no 4001, 5147

[8] HR Abu Dawud 4/173, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Masobiih no 5931

[9] Al-Qoul Mufid 1/69

[10] Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 215

[11] Jika mereka yang melantunkan perkataan Bushiri ini berkata, “Maksud dari perkataan Bushiri “Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh” adalah ia meminta syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah, maka kita katakan, “Perkataan Bushiri “Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan)”  menunjukan bahwa ia meminta langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karunia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Padahal syafaat adalah semata-mata karunia Allah yang Allah idzinkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semata-mata milik Allah. Dan meminta syafaat merupakan doa, dan doa adalah ibadah yang sangat agung yang hanya diserahkan kepada Allah. Oleh karena itu semestinya meminta syafaat hanyalah kepada Dzat Yang menguasai seluruh syafaat, yang tidak ada syafaat kecuali dengan idzinNya” Maka perkataan Bushiri ini tidak bisa dipungkiri merupakan kesyirikan yang sangat jelas. (Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 183)

[12] Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 263

[13] Prof DR Syaikh Abdurrozaq menjelasakan bahwa yang sangat menyedihkan banyak sekali kaum muslimin yang mengapalkan bait-bait ini, hingga anak-anakpun ikut menghapalkannya. Barangsiapa yang membaca bait-bait ini dengan syarat harus diatas wudhu, maka tatkala ia berwudhu ia telah terlepas dari hadats kecil, kemudian tatkala ia melantunkan bait-bait burdah karya Al-Bushiri ini maka ia telah kembali berhadats, bukan sekedar hadats kecil, bahkan hadats yang terbesar yaitu kesyirikan dan kekufuran yang terkandung dalam bait-bait tersebut.

[14] Lihat muqoddimah diwan Al-Bushiri

[15] Ad-Duror As-Sunniah 9/80 dan lihat 9/49,84,193.

[16] Ad-Dur An-Nadid hal 26

[17] Mizab yaitu tempat aliran air yang berada di atas ka’bah

[18] Hujoh yaitu tempat Nabi ÷ dikuburkan

Sabtu, 2 April 2016

Taat pada Pemimpin yang Zalim

Taat pada Pemimpin yang Zalim


Hadis Melawan Kemaksiatan Pdf Pandangan Hadist Tentang Menentang Pemerintah Dzalim Hadis Ketaatan Kpd Pemimpin Ayat Patuh Pada Pemimpin Arti Hadist Tidak Wajib Taat Kepada Sesama Dalam Maksiat
Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)
Islam lewat lisan Nabinya telah mengajarkan bagaimana kita bermuamalah dengan pemerintah atau penguasa. Sebagian kalangan bersikap keras sehingga mudah mengkafirkan. Sebagian lagi bersikap lembek. Sikap terbaik yang menjadi akidah seorang muslim adalah tetap menasehati penguasanya dengan baik tatkala mereka tergelincir. Penyampaian nasehat ini pula disalurkan dengan cara yang baik, bukan dengan menyebarkan aib mereka di depan umum. Juga prinsip penting dalam muamalah dengan penguasa adalah tetap mentaati mereka selama mereka masih muslim, walaupun mereka berbuat zholim. Berikut nasehat Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para ulama dalam hal ini.
Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ
Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)
Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.
Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah. Karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudzaifah bin Al Yaman.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)
Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.
Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
(Pembahasan ini kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An NAwawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya)

Bersabarlah terhadap Pemimpin yang Zholim

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan,
“Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.” (QS. Ali Imran [3] : 165)
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’ [4] : 79)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’am [6] : 129)
Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezholiman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezholiman.
(Inilah nasehat yang sangat bagus dari seorang ulama Robbani. Lihat Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah)

Ingatlah: Semakin Baik Rakyat, Semakin Baik Pula Pemimpinnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)
Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?
Ali menjawab,
“Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11) (Dinukil dari buku Ustadz Yazid bin Abdil Qodir Jawas, Nasehat Perpisahan, hadits Al ‘Irbadh)

Menegakkan Negara Islam

Ada seorang da’i saat ini berkata,
أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ الإِسْلاَمِ فِي قُلُوْبِكُمْ، تَقُمْ لَكُمْ عَلَى أَرْضِكُمْ
“Tegakkanlah Negara Islam di dalam hati kalian, niscaya negara Islam akan tegak di bumi kalian.”
Bukanlah jalan melepaskan diri dari kezoliman penguasa adalah dengan mengangkat senjata melalui kudeta yang termasuk bid’ah pada saat ini. Pemberontakan semacam ini telah menyelisihi nash-nash yang memerintahkan untuk merubah diri sendiri terlebuh dahulu dan membangun bangunan dari pondasi (dasar). Allah Ta’ala berfirman,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj [22] : 40)
Jalan keluar dari kezholiman penguasa –di mana kulit mereka sama dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita- adalah dengan :
1. Bertaubat kepada Allah Ta’ala
2. Memperbaiki aqidah
3. Mendidik diri dan keluarga dengan ajaran Islam yang benar
(At Ta’liqot Al Atsariyah ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah li Aimmati Da’wah Salafiyah, 1/42, Maktabah Syamilah)
Oleh karena itu, setiap da’i yang ingin mendakwahkan islam hendaklah memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Inilah dakwah para Nabi dan dakwah pertama yang Nabi perintahkan kepada da’i dari kalangan sahabat untuk menyampaikannya kepada umat. Para sahabat tidaklah diperintahkan untuk menegakkan khilafah islamiyah terlebih dahulu atau menguasai pemerintahan melalui politik. Namun, dakwah yang beliau perintah untuk disampaikan pertama kali adalah dakwah tauhid.
Lihatlah nasehat beliau shallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengutusnya ke Yaman –negeri Ahli Kitab-,
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ ، فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ
Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jadikanlah dakwah pertamamu kepada mereka adalah untuk beribadah kepada Allah (mentauhidkannya). Apabila mereka sudah mentauhidkan Allah, beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jauhilah Pertumpahan Darah

Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa. Karena, bila kita tidak mentaati mereka, maka akan terjadi kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin. Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Tirmidzi)
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al Ma’idah [5] : 32)
Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban.
Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan mentaati mereka. Namun bukan berarti tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar. Hal itu tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaedah yang telah ditetapkan oleh syari’at yang mulia ini.

Hendaklah Kita Mendoakan Pemimpin Kita

Sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat bahwa pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Jika rakyat rusak, maka pemimpin juga akan demikian. Maka hendaklah kita selalu mendo’akan pemimpin kita dan bukanlah mencelanya. Karena do’a kebaikan kita kepada mereka merupakan sebab mereka menjadi baik sehingga kita juga akan ikut baik. Ingatlah pula bahwa do’a seseorang kepada saudaranya dalam keadaan saudaranya tidak mengetahuinya adalah salah satu do’a yang terkabulkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany, pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR. Muslim no. 2733)
Sampai-sampai sebagian salaf mengatakan:
Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajab, niscaya akan aku manfaatkan untuk mendo’akan pemimpin.
Masya Allah inilah akhlaq yang mulia. Selalu mentaati pemimpin selain dalam hal maksiat. Dengan inilah akan tercipta kemaslahatan di tengah-tengah kaum muslimin.
Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan pemimpin kita. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Ya Allah, berilah kemanfaatan kepada kami terhadap apa yang kami ajarkan dan ajarkanlah pada kami ilmu yang bermanfaat serta tambahkanlah ilmu pada kami.”
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Tulisan lawas, diedit ulang di Madinah Nabawiyah, Jum’at-13 Rabi’ul Awwal 1434 H

Muamalah Dengan Penguasa Assunnah Apabila Ada Pemimpin Yang Mengajak Kepada Kemaksiatan Sikap Kita Sebagaimana Dijelaskan Pada QS An Nisa  59 Adalah Menentang Pemerintah Hadis Tentang Pemimpin Yg Dzalim Tetap Harus Di Ikuti Tidak Ada Ketaatan Dalam Kemaksiatan Assunnah